Tidak ada alasan "ide macet" dalam menulis, karena kita punya dimensi "membaca" yang lebih luas. Masalahnya tinggal bagaimana kita menemukan, menyadari dan membiasakannya.
Membaca dari sumber bacaan memang penting, tapi kurang baik kalau terlalu terpaku padanya. Itu akan membuat kita mudah macet, dan tak bisa fleksibel. Seperti motor atau mobil yang tak bisa berbelok, karena kondisi setirnya bermasalah.
Jika sudah terbiasa "merasakan" dan "membaca", tambahan bacaan dari sumber bacaan, itu akan membuat tulisan kita punya dimensi lebih luas.
Alhasil, apa yang kita tulis bisa menyentuh titik "blind spot" atau bagian terlupakan, dan mungkin memicu orang lain untuk menulis "bagian" lain yang mereka temukan, tapi sebelumnya luput dari perhatian.
Dari sinilah, sebuah pandangan dalam tulisan menjadi kepingan puzzle. Mereka terdiri dari sejumlah potongan-potongan kecil yang fungsinya saling melengkapi.
Awalnya, kita tidak tahu apa gambar besar yang ada. Tapi, setelah dirangkai satu persatu, lama kelamaan kita akan menyadari, dan memahami gambaran utuh, setelah semua selesai dirangkai.
Jika hal-hal dikotomis seperti "benar-salah" kita tepikan sejenak, gambaran utuh yang kita temukan akan menihilkan subjektivitas. Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan, karena gambaran utuh yang hadir sudah menampilkan semuanya, lengkap dengan semua penjelasan yang diperlukan.
Pada akhirnya, membaca, seperti halnya menulis memang tak selalu harus bisa dilihat dari luar, tapi, ia akan mengajak kita melihat semuanya secara utuh dari dalam, dengan dimensi lebih luas dari yang sepintas kita lihat dari luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H