Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pemain sepak bola Indonesia yang "go abroad" alias bermain di luar negeri dengan durasi beragam. Ada yang hanya sebentar, ada juga yang cukup awet.
Di Timnas senior Indonesia generasi terkini, ada Pratama Arhan (Tokyo Verdy) dan Asnawi Mangkualam (Ansan Greeners) yang bermain di klub kasta kedua Liga Jepang dan Korea Selatan. Ada juga Saddil Ramdani (Sabah FC) yang bermain di kasta tertinggi Liga Malaysia.
Bukan cuma di Asia, pemain Timnas Indonesia juga ada yang berkiprah di Eropa. Ada Egy Maulana Vikri (Zlate Moravce) dan Witan Sulaeman AS Trencin) di kasta tertinggi Liga Slovakia, dan Elkan Baggott (Gillingham, dipinjam dari Ipswich Town) yang bermain di kasta keempat Liga Inggris.
Nama-nama di atas masih akan bertambah, karena pemain keturunan seperti Jordi Amat (JDT, Malaysia), Shayne Pattynama (Viking FK, Norwegia) dan Sandy Walsh (KV Mechelen, Belgia) sedang dalam proses naturalisasi.
Jordi Amat dan Sandy Walsh bahkan disebut-sebut akan resmi menjadi WNI pada akhir Agustus 2022. Jika semua berjalan lancar, mereka bisa debut dalam laga uji coba resmi bertajuk "FIFA Match Day" melawan Timnas Curacao, bulan September mendatang.
Terlepas dari pro-kontra soal naturalisasi (kecuali pada kasus Elkan Baggott, yang memang punya kewarganegaraan ganda terbatas, sebelum akhirnya memilih menjadi WNI di usia 18 tahun) kiprah pemain Timnas Indonesia di luar negeri telah menghadirkan satu sisi menarik.
Bukan, ini bukan semata soal peningkatan jumlah followers akun media sosial klub tujuan mereka secara drastis. Ini soal perubahan persepsi yang pelan-pelan hadir di media dan warganet kita, khususnya soal label "klub atau liga antah berantah".
Seperti diketahui, label ini sebelumnya biasa dipakai media, untuk merujuk liga di luar liga top Eropa atau liga kompetisi kasta tertinggi di luar negeri. Kebiasaan ini juga menular di kalangan warganet, umumnya karena faktor familiaritas.
Tapi seiring dengan masuknya pemain-pemain Indonesia di kompetisi luar negeri, keberadaan label ini pelan-pelan mulai terkikis. Sekalipun nama klub atau liganya sekilas terdengar asing, ternyata itu bukan masalah.
Besarnya rasa bangga publik sepak bola nasional dan media (walau kadang agak overproud) membuat mereka bersedia mengikuti terus kiprah pemain Indonesia di luar negeri.
Meski bukan liga top Eropa atau kompetisi kasta tertinggi, nyaris tak ada pemberitaan yang terlewat dari para pemain Indonesia yang "go abroad". Sekalipun si pemain tidak rutin tampil, berita tentangnya selalu saja muncul.
Ada juga yang bahkan sampai mau menelusuri, segala info soal kompetisi dan klub tempat bernaung si pemain. Sesuatu yang mungkin tidak biasa di masa lalu, tapi jadi hal biasa di masa kini.
Tentu saja, ini adalah satu kemajuan pola pikir yang layak dipertahankan, kalau perlu malah harus ditingkatkan levelnya.
Terlepas dari sisi bias yang sudah pasti akan ada karena ada para pemain asal Indonesia, ada kesadaran untuk mau menambah wawasan, dan tak lagi terkungkung dalam pesona gemerlap liga level top Eropa (dan dunia), yang secara level aktual memang masih diluar jangkauan pemain lokal Indonesia.
Ada kesadaran untuk berpandangan lebih realistis dan membumi, tanpa pandangan pesimis apalagi meremehkan.
Jika ini bisa berlanjut, akan tumbuh objektivitas yang bisa membuat suporter semakin dewasa. Tak ada lagi sikap congkak, karena ada kesadaran bersama untuk terus berbenah dan melangkah maju.
Dari sini, andai nanti pemain Indonesia yang main di luar negeri makin banyak, kita seharusnya layak bersyukur, karena, itu bisa semakin mengedukasi suporter. Syukur-syukur, kalau ini juga bisa jadi bahan masukan PSSI dan pihak terkait.
Dalam artian, selain menambah wawasan, suporter juga bisa mendapat "insight" tentang apa saja yang membuat kualitas aktual kompetisi sepak bola di luar negeri jauh lebih baik dibandingkan kompetisi dalam negeri.
Jika PSSI dan pihak terkait mau memanfaatkan fenomena ini, seharusnya mereka juga bisa mulai membenahi kualitas tata kelola sepak bola nasional dengan ikut memperluas wawasan.
Jika publik sepak bola nasional punya wawasan luas, mereka tidak akan lagi berpandangan sempit, karena sudah punya kesadaran, tentang apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan untuk jadi lebih baik.
Selebihnya, tinggal bergantung pada seberapa serius niat PSSI dan pihak terkait untuk meningkatkan kualitas sepak bola nasional. Kalau masih tidak serius, sebanyak apapun jumlah pemain Indonesia yang "go abroad", percuma saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H