Dalam beberapa pekan terakhir, isu soal rencana Indonesia pindah ke EAFF (AFF-nya Asia Timur) bergulir, setelah terjadinya kasus sepak bola gajah yang melibatkan Thailand dan Vietnam di fase grup Piala AFF U-19 edisi 2022.
Desakan warganet suporter Indonesia, terutama yang kecewa, ternyata ditindaklanjuti PSSI. Mulai dari mengajukan protes resmi ke AFF, sampai melakukan komunikasi dengan EAFF, semua sudah dilakukan. Tak ketinggalan, warganet suporter Timnas Indonesia juga berbondong-bondong mem-follow akun media sosial EAFF.
Manuver PSSI ini memang sempat direspon AFF, dengan merilis jadwal Piala AFF 2022. Ulasan demi ulasan soal untung rugi pindah ke EAFF atau bertahan di AFF pun bermunculan.
Tapi, seiring kemenangan 2-1 Timnas Indonesia U-16 di ajang Piala AFF U-16, Sabtu (6/8) lalu, titik terang soal spekulasi ini pun hadir. Iwan Bule, selaku Ketum PSSI menyatakan, Indonesia tetap bertahan di AFF.
Keputusan ini muncul, setelah temuan Komisi Disiplin AFF menyatakan, tidak ada indikasi sepak bola gajah di laga Thailand versus Vietnam. Pada prosesnya, AFF juga melibatkan Komisi Disiplin Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) yang juga mengkonfirmasi temuan AFF tersebut.
Pertimbangan lainnya adalah, Indonesia berada di kawasan ASEAN. Jika pindah ke EAFF, akan ada biaya ekstra, khususnya untuk akomodasi dan adaptasi fisik. Maklum, negara-negara Asia Timur umumnya adalah negara empat musim, tidak seperti di Asia Tenggara.
Jika dikalkulasi, biayanya akan jauh lebih besar, daripada bertanding di kawasan ASEAN.
Sebenarnya, keputusan ini sudah cukup bisa diduga. Dalam sejarahnya, PSSI bukan tipe lembaga yang berani ambil risiko, untuk satu keputusan yang kurang populer.
Apalagi, kalau itu butuh biaya sangat besar. Jadi, rencana pindah ke EAFF bisa dibilang hanya sebuah gertak sambal, dengan membonceng reaksi kecewa sebagian warganet suporter Timnas Indonesia.
Tentu saja ini bukan hal baru, karena PSSI selama ini biasa membonceng harapan publik sepak bola nasional, khususnya setiap kali menunjuk pelatih, dan mematok target prestasi. Mereka sudah sangat berpengalaman dalam hal bonceng-membonceng.
Berhubung nasi sudah jadi bubur, PSSI kini perlu memikirkan, bagaimana cara membuat bubur ini jadi bubur ayam yang enak.
Dengan keputusan bertahan di AFF, kini PSSI perlu mulai berpikir, bagaimana cara mengejar ketertinggalan dengan Vietnam dan Thailand, plus Malaysia yang liganya sedang berkembang pesat.
Soal target prestasi, juara di Piala AFF mungkin masih akan jadi target, sebagaimana diharapkan publik sepak bola nasional di hampir setiap edisinya.
Alasan ini jugalah, yang mungkin jadi pertimbangan Indonesia bertahan di AFF. Bagaimanapun, pergi dengan cap olokan "Eternal Runner-up" alias Runner-up Abadi, khususnya dari sebagian suporter Thailand dan Vietnam jelas tidak mengenakan.
Tapi, PSSI kini mulai perlu berpikir ke depan, bukan hanya berpikir sebatas di kawasan ASEAN. Kalau ruang lingkupnya hanya berhenti di situ, sulit untuk bisa lebih baik, karena dalam hal sepak bola, kawasan ASEAN bisa dibilang cukup tertinggal di Asia.
Jika situasinya seperti di Asia Selatan, dimana kriket jadi olahraga populer, ketertinggalan mungkin masih bisa diterima. Masalahnya, jika masyarakatnya gila bola, tapi prestasi Timnas sepak bolanya masih tertinggal, berarti ada yang salah.
Dengan peringkat FIFA Tim Garuda, yang saat ini bahkan masih belum masuk 150 besar dunia, masih banyak PR yang harus dibenahi PSSI, khususnya dalam hal meningkatkan kualitas tata kelola sepak bola nasional.
Jika PSSI memang serius dan punya komitmen untuk lebih baik, seharusnya mereka tidak berlarut-larut dalam kegaduhan belakangan ini. Apapun keputusannya, yang penting PSSI dan pihak terkait bisa konsekuen dan benar-benar ingin maju.
Jika tidak, mau pindah ke OFC (Oseania), CAF (Konfederasi Sepakbola Afrika), CONMEBOL (Amerika Selatan) atau UEFA sekalipun, sepak bola nasional akan tetap jadi bahan dagelan.Â
Kelucuannya bisa membuat pelawak paling jenius sekalipun akan merasa minder, saking banyaknya kekonyolan yang mampu membuat banyak orang tertawa terbahak-bahak.
Selama tidak ada perbaikan berarti, selama itu pula momen berkumandangnya lagu kebangsaan "Indonesia Raya" jelang kick off masih akan jadi momen paling keren, setiap kali Tim Garuda bertanding.
Selebihnya, Que Sera Sera, Whatever will be, will be.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H