Bicara soal Liga Indonesia, satu hal yang cukup lekat dengannya adalah inkonsistensi. Fenomena ini sudah jadi satu kebiasaan umum dari tahun ke tahun.
Sebagai contoh, klub yang di satu musim terancam terdegradasi bisa jadi juara di musim berikutnya. Begitupun sebaliknya, ada yang satu ketika begitu kuat, tapi di kesempatan lain harus turun kasta.
Salah satu penyebabnya, ada banyak klub yang merombak total timnya, termasuk di pos pelatih, demi mengejar target jangka pendek.Â
Uniknya, target jangka pendek ini bukan hanya dalam konteks target tahunan, tapi juga mencakup target prestasi di paruh  musim kompetisi.
Untuk target paruh musim, biasanya target itu adalah versi revisi dari target di awal musim. Misalnya, jika sebuah tim awalnya membidik target juara di awal musim, lalu merevisinya jadi lolos dari degradasi di paruh kedua, setelah mendapati performa tim ternyata jeblok di paruh pertama.
Sayangnya, masih belum banyak klub di Indonesia yang mulai berpikir jangka panjang. Pelatih dan tim yang sudah mencapai (bahkan melampaui) target hasil revisi kadang tidak dipertahankan, apalagi mereka yang gagal memenuhi target.
Akibatnya, materi tim diubah total pada musim baru berikutnya, dan bisa saja dibongkar lagi di akhir putaran pertama. Siklusnya terus berputar seperti itu, sehingga inkonsistensi jadi satu hal yang konsisten hadir di Liga Indonesia.
Fenomena ini juga cukup merata. Tidak hanya ada di Liga 1, tapi juga mencakup kasta di bawahnya.
Makanya, sejak Liga Indonesia bergulir sejak tahun 1994 hampir tidak ada klub di liga Indonesia yang mampu juara beruntun, khususnya dalam kondisi normal.
Fenomena ini bahkan dialami tim Persipura Jayapura versi "prime mode" yang juara liga 4 kali dan Runner up 3 kali selama rentang waktu 2005-2014.Â