Judul di atas adalah pertanyaan bernada jengkel yang terlintas dalam pikiran saya, dan mungkin sebagian warga Yogyakarta pada umumnya, saat terjadi ricuh di beberapa titik di Yogyakarta, akibat terjadi aksi anarkis yang diduga dilakukan oleh sekelompok oknum suporter Persis Solo, Senin (25/7).
Sebenarnya, sebelum gesekan itu terjadi, hari itu adalah satu hari yang "normal" di Yogyakarta. Tapi, aksi anarkis oknum suporter Persis Solo membuat situasi jadi tidak normal.
Adanya kericuhan membuat banyak orang jadi was-was. Banyak juga yang merasa bingung, kenapa oknum suporter Persis Solo ini sengaja lewat pusat kota, terlibat cekcok dengan warga, dan memprovokasi kelompok suporter PSIM Yogyakarta (kontestan Liga 2 yang memang merupakan rival lama Persis Solo).
Jika mereka bersikap simpatik dan tidak berulah, dijamin aman. Biarpun konvoinya besar-besaran, semuanya pasti akan baik-baik saja. Di Yogyakarta sendiri, konvoi suporter seperti ini sudah biasa terjadi tiap kali PSS Sleman bertanding di kandang.
Sejak tampil di Liga 2, bahkan promosi ke Liga 1 sejak tahun 2019, situasinya tetap baik-baik saja. Memang, ada rivalitas dengan PSIM Yogyakarta dan Persiba Bantul, tapi suasananya relatif aman terkendali.
Satu hal yang membuat geleng-geleng kepala adalah, Persis Solo sedianya bertanding di kota Magelang, karena Stadion Manahan Solo sedang dipakai untuk venue ASEAN Paragames yang berlangsung tanggal 23-30 Juli 2022, tapi kenapa oknum suporternya malah berbuat onar di Jogja?
Satu lagi, kalau ada jalur ke Magelang yang lebih pendek waktu tempuhnya, kenapa harus lewat jalur yang lebih panjang?
Kalau alasannya hanya karena ingin "pamer" bahwa Persis Solo bermain di kasta tertinggi Liga Indonesia, rasanya ini terlalu kekanak-kanakan. Mereka baru promosi dan belum tahu apakah akan bertahan di kasta tertinggi atau tidak.
Memang, Kaesang Pangarep selaku pemegang saham mayoritas klub, berani mematok target tinggi, yakni finis di papan atas, bahkan juara. Bicara memang gampang, tapi realita kadang tidak semudah itu.
Bagaimana kalau sudah sesumbar pasang target tinggi, pamer dan berbuat onar di kota orang, tapi ternyata malah terdegradasi di akhir musim? Malunya pasti sundul langit, kecuali kalau urat malunya memang sudah tidak ada.
Bagian paling membingungkan dari kejadian semacam ini adalah, mereka seharusnya tahu, klub akan dibuat ketar-ketir, jika nanti harus bertandang ke markas PSS Sleman, atau saat menjadi tuan rumah di Solo.
Akan ada persiapan dan biaya ekstra untuk pengamanan, yang seharusnya tidak perlu ada jika oknum suporter tak berulah. Belum lagi, kalau tim-tim yang dihadapi punya kelompok suporter sangat militan seperti Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Persija Jakarta atau Arema FC.
Padahal, di Piala Presiden lalu, suporter PSS Sleman dan tim tamu lain baik-baik saja saat bertanding di Stadion Manahan. Apakah rasa aman yang sama juga akan terjamin kehadirannya setelah insiden ini?
Jangan lupa, kejadian semacam ini kadang juga rawan menimbulkan efek berantai kurang mengenakkan jika tak dicegah sejak awal. Ada banyak pelajar, mahasiswa dan pekerja dari wilayah eks Karesidenan Surakarta alias plat AD di Yogyakarta yang tidak bersalah, tapi terpaksa dibuat dag-dig-dug akibat ulah segelintir oknum suporter yang lupa bersikap sopan, hanya karena klubnya bermain di kasta tertinggi Liga Indonesia.
Inilah satu PR besar yang perlu diperhatikan manajemen , dan kelompok suporter Laskar Sambernyawa. Sebagai klub yang kini sudah bermain di kasta tertinggi, mereka harus menunjukkan level sikap yang sepadan.
Semakin banyak tingkah minus yang diperagakan, kita patut menduga, jangan-jangan mereka belum siap mental dan belum layak untuk level dan target setinggi itu.
Punya cita-cita jadi tim papan atas bahkan juara liga itu bagus, tapi kalau itu jadi alasan untuk bersikap sombong bahkan bertindak anarkis, maka cita-cita itu layak ditimbang ulang.
Target sangat tinggi yang tidak dibarengi kesiapan mental dan sikap yang seimbang justru bisa menunjukkan, seperti apa level aktual tim tersebut. Target boleh setinggi langit, tapi sikap dan mental kadang tidak bisa bohong.
Di lapangan, tim asuhan Jacksen Ferreira Tiago akhirnya memang kalah 2-3 dari Dewa United. Tapi, daripada mengkritik habis performa tim di lapangan, suporter Persis Solo perlu fokus menyoroti ulah oknum di Jogja, yang nyata-nyata sudah mengganggu ketertiban umum, dan tidak baik jika dibiasakan.
Jika diwarnai tindak anarkis oknum suporter, menang rasanya malu, kalah rasanya akan jauh lebih memalukan. Lebih buruk dari pemeo khas cerita silat, "kalah mendapat malu, menang tidak dapat nama".
Karenanya, saya mengapresiasi peringatan tegas yang dicuitkan Kevin Nugroho, salah satu pemegang saham Persis Solo, menyusul insiden kericuhan di Jogja. Langkah semacam ini akan lebih efektif, jika diikuti juga oleh Erick Thohir dan Kaesang Pangarep, pemegang saham lainnya, supaya ada kesadaran bersama.
Di sisi lain, PSSI dan pihak terkait juga perlu mempertimbangkan sanksi tegas, untuk kelompok suporter yang terbukti mengganggu ketertiban umum, khususnya yang sudah menjurus ke tindak kriminal.
Meski tidak terjadi di stadion, ini tidak boleh diabaikan. Jika ini masih terus berulang, bahkan semakin parah, pemerintah dan pihak terkait perlu mempertimbangkan larangan suporter menonton langsung di stadion, selama kelompok suporter masih tidak tertib.
Alasannya sama dengan situasi masa pandemi: keadaan darurat. Maklum, ini berkaitan juga dengan keselamatan bersama.
Ini penting, supaya sepak bola bisa tetap jadi olahraga pemersatu sekaligus hiburan rakyat, bukan sumber masalah gangguan keamanan yang meresahkan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H