Bagian paling membingungkan dari kejadian semacam ini adalah, mereka seharusnya tahu, klub akan dibuat ketar-ketir, jika nanti harus bertandang ke markas PSS Sleman, atau saat menjadi tuan rumah di Solo.
Akan ada persiapan dan biaya ekstra untuk pengamanan, yang seharusnya tidak perlu ada jika oknum suporter tak berulah. Belum lagi, kalau tim-tim yang dihadapi punya kelompok suporter sangat militan seperti Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Persija Jakarta atau Arema FC.
Padahal, di Piala Presiden lalu, suporter PSS Sleman dan tim tamu lain baik-baik saja saat bertanding di Stadion Manahan. Apakah rasa aman yang sama juga akan terjamin kehadirannya setelah insiden ini?
Jangan lupa, kejadian semacam ini kadang juga rawan menimbulkan efek berantai kurang mengenakkan jika tak dicegah sejak awal. Ada banyak pelajar, mahasiswa dan pekerja dari wilayah eks Karesidenan Surakarta alias plat AD di Yogyakarta yang tidak bersalah, tapi terpaksa dibuat dag-dig-dug akibat ulah segelintir oknum suporter yang lupa bersikap sopan, hanya karena klubnya bermain di kasta tertinggi Liga Indonesia.
Inilah satu PR besar yang perlu diperhatikan manajemen , dan kelompok suporter Laskar Sambernyawa. Sebagai klub yang kini sudah bermain di kasta tertinggi, mereka harus menunjukkan level sikap yang sepadan.
Semakin banyak tingkah minus yang diperagakan, kita patut menduga, jangan-jangan mereka belum siap mental dan belum layak untuk level dan target setinggi itu.
Punya cita-cita jadi tim papan atas bahkan juara liga itu bagus, tapi kalau itu jadi alasan untuk bersikap sombong bahkan bertindak anarkis, maka cita-cita itu layak ditimbang ulang.
Target sangat tinggi yang tidak dibarengi kesiapan mental dan sikap yang seimbang justru bisa menunjukkan, seperti apa level aktual tim tersebut. Target boleh setinggi langit, tapi sikap dan mental kadang tidak bisa bohong.
Di lapangan, tim asuhan Jacksen Ferreira Tiago akhirnya memang kalah 2-3 dari Dewa United. Tapi, daripada mengkritik habis performa tim di lapangan, suporter Persis Solo perlu fokus menyoroti ulah oknum di Jogja, yang nyata-nyata sudah mengganggu ketertiban umum, dan tidak baik jika dibiasakan.
Jika diwarnai tindak anarkis oknum suporter, menang rasanya malu, kalah rasanya akan jauh lebih memalukan. Lebih buruk dari pemeo khas cerita silat, "kalah mendapat malu, menang tidak dapat nama".
Karenanya, saya mengapresiasi peringatan tegas yang dicuitkan Kevin Nugroho, salah satu pemegang saham Persis Solo, menyusul insiden kericuhan di Jogja. Langkah semacam ini akan lebih efektif, jika diikuti juga oleh Erick Thohir dan Kaesang Pangarep, pemegang saham lainnya, supaya ada kesadaran bersama.