Pada titik ini, kami lalu saling menertawakan diri sendiri, karena sama-sama berkebutuhan khusus. Saya punya kekurangan bawaan di syaraf motorik yang dikenal sebagai "Celebral Palsy", sementara dia punya kondisi langka di retina mata yang dikenal dengan nama "Retinitis Pigmentosa" sejak beberapa tahun terakhir.
Secara bercanda, dia menyebut diri kami sebagai "mutant" atau "X-Men", karena kondisi kami sama-sama "tidak biasa" menurut kacamata orang "normal". Inilah titik dimana kami berada dalam posisi sebagai teman seperjuangan, bukan hanya karena menjadi teman semasa kuliah, tapi juga karena kondisi khusus yang kami punya.
Bukannya tidak menghargai, tapi inilah cara terbaik menerima diri sendiri secara jujur. Satu kejujuran yang membuat kami bisa melewati masa sulit, dan terus melangkah, setidaknya sampai kami "dipanggil pulang" suatu hari nanti. Lagipula, keberadaan "atribut khusus" ini pasti punya maksud tersendiri.
Seperti "karma" pada umumnya, akan ada momen dimana kami akan bertukar posisi. Dalam artian, ketika kita menolong seseorang di masa sulit, kita akan gantian ditolong saat menghadapi masa sulit.
Momen "karma" itu sendiri datang beberapa bulan kemudian, tepat sebelum PSBB generasi pertama diberlakukan pemerintah di masa pandemi.
Ketika itu, saya dalam kondisi cukup stres akibat menghadapi banyak masalah sendirian, dan terlalu banyak memendam emosi negatif, karena berada di lingkungan yang didominasi orang-orang yang cenderung hanya "ingin didengar" dan "toxic".
Saking stresnya, saya ingat betul, saya cukup sering menangis dalam empat hari beruntun. Ketika saya ceritakan masalah ini ke teman saya, ia lalu menyarankan saya berkonsultasi ke psikolog, setidaknya untuk membantu mengenali masalah sebenarnya, sebelum ambil tindakan lanjut.
Setelah menimbang waktu yang tepat dan disetujui atasan di kantor, saya waktu itu mengambil cuti satu hari. Kebetulan, saya waktu itu masih punya sisa jatah cuti dari tahun sebelumnya yang belum terpakai.
Pada momen inilah, "karma" unik itu akhirnya tergenapi. Dari temuan sang psikolog, ternyata lingkungan yang "terlalu dominan" itu membuat saya cukup kesulitan untuk "bertukar posisi" saat dibutuhkan.
Alhasil, emosi yang seharusnya dikeluarkan sampai tuntas, justru dibiarkan menumpuk dan meledak hebat, seperti erupsi besar gunung berapi.
Dari sinilah saya lalu didorong untuk lebih berani berekspresi, termasuk bertindak "tegas" saat dibutuhkan, demi menjaga kesehatan mental.