Di era media sosial seperti sekarang, "karma" menjadi satu kata kunci yang cukup populer. Apalagi, setiap orang (biasanya) punya cerita masing-masing soal perkara satu ini.
Tapi, cerita soal karma yang saya tulis di sini terbilang unik, karena dari sudut pandang saya, ini awalnya terjadi secara tidak sengaja, bahkan tidak saya sadari. Sementara itu, sudut pandang teman saya justru melihat sebaliknya.
Pengalaman unik ini baru berani saya tulis, setelah kami sama-sama telah melewati masa sulit masing-masing. Tentu saja, ini ditulis juga atas persetujuan yang bersangkutan.
Cerita bermula ketika kami bereuni di sudut kota Jakarta, beberapa bulan sebelum pandemi datang. Ditemani segelas es kopi, kami saling bercerita dan mendengarkan, sebelum akhirnya sampai pada titik, yang membuat saya mendapat satu kejutan tak terduga.
Kejutan itu adalah cerita tentang masa sulit yang sempat dialami teman saya. Situasinya sangat rumit, sampai membuatnya sempat merasa buntu, bahkan coba mengakhiri semua secepat mungkin lewat jalan pintas.
Syukurlah, upaya itu tidak berhasil. Kalau berhasil, kami tak akan pernah bertemu hari itu, dan tulisan ini tak akan pernah ada.
Teman saya ini lalu menjalani proses rehabilitasi, dengan membuat refleksi sebagai salah satu terapinya. Kala itu, dia diminta merefleksikan orang-orang yang (menurutnya) berada dalam kondisi lebih sulit, tapi bisa tetap bertahan.
Disinilah situasi unik (menurut sudut pandang saya) itu terjadi. Ternyata, saya menjadi salah satu orang yang menurutnya masuk kriteria itu.
Dia bahkan mengingat keseharian di masa kuliah dulu, yang jujur saja cukup melelahkan secara fisik, tapi bisa dijalani sampai tuntas, dalam kondisi fisik serba terbatas. Sebuah memori yang ternyata ikut membantunya melewati masa sulit.
Sebagai teman, saya awalnya lumayan kaget, karena di balik sikapnya yang serba slebor, ternyata pernah hadir situasi sesulit itu. Tapi, saya bersyukur, karena bisa ikut membantunya melewati masa sulit, meski pada awalnya tidak saya sadari.