Sebagai contoh, di saat harga per pack (isi 100 pcs) sedotan plastik ada yang mencapai kisaran angka di bawah lima ribu rupiah, harga per pack sedotan ramah lingkungan justru berada di kisaran angka puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah.
Perbedaannya jomplang sekali. Itu baru sedotan, belum termasuk produk-produk kebutuhan sehari-hari  lainnya seperti sendok, garpu, sabun mandi dan kawan-kawan.
Kalau sasaran pasarnya kelas atas, mungkin tidak masalah. Dengan catatan kualitasnya benar-benar bagus, sesuai harga, dan punya unsur estetik.
Masalahnya, pasar yang cukup dominan di Indonesia adalah kelas menengah dan bawah. Dalam kondisi normal saja, mereka sudah sensitif terhadap harga, apalagi setelah pandemi menyerang.
Para produsen produk ramah lingkungan boleh saja berdalih, ini adalah harga yang sepadan dengan kualitas dan manfaat jangka panjang. Tapi, di balik dalih itu, ada juga biaya produksi dan sertifikasi produk yang mahal.
Lagi-lagi, muaranya cuan. Maklum, namanya juga bisnis, bukan sedekah.
Selain karena masalah harga, familiaritas produk dan skala produksi juga jadi masalah. Banyak konsumen yang awalnya tertarik, tapi langsung bingung saat melihat nama produknya yang kurang familiar, karena umumnya memakai bahasa Inggris, tapi dengan tata bahasa yang kadang semau gue.
Sudah nama produknya tidak familiar, harganya pun sangat mahal dibandingkan produk sejenis dengan fungsi sama. Habislah sudah.
Masalah ini sebenarnya sudah coba diakali pelaku usaha produk ramah lingkungan, antara lain dengan gencar wara-wiri di media, entah nasional ataupun internasional. Hasilnya, orang hanya melihat ini adalah produk yang pernah diliput media.
Akibatnya, identitas produk yang coba dibangun jadi tidak solid. Jangankan menjadi pembeli setia, kenal pun tidak.
Tidak solidnya identitas produk yang dibangun, dan harganya yang di luar jangkauan kebanyakan orang, membuat permintaan pasar akan produk ini jadi rendah. Akibatnya, skala produksi stagnan, sulit membesar, apalagi menjadi skala produksi massal.