Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sisi Membingungkan Label "Big Match" di Liga Indonesia

18 Juli 2022   01:20 Diperbarui: 18 Juli 2022   01:45 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
El Clasico dan Superclasico (Beinsports.com)

Dalam olahraga sepak bola, laga akbar alias "big match" biasa menjadi satu daya tarik tersendiri. Maklum, tim yang berhadapan di partai ini biasanya punya catatan sejarah bagus, basis penggemar luas, atau materi pemain bintang.

Bumbu yang ada akan semakin lengkap, kalau kedua tim merupakan tim dari kota terbesar satu negara, yang juga tim tersukses di kompetisi, seperti pada kasus Real Madrid vs Barcelona, atau merupakan rival sekota, seperti AC Milan dan Inter Milan.

Makanya, ketika kedua tim merupakan rival sekota yang juga merupakan tim tersukses di kompetisi, tensi persaingan jadi semakin tinggi. 

Contoh paling familiar dari kasus ini adalah partai "Superclasico" antara River Plate vs Boca Juniors, dua tim tersukses liga Argentina di level nasional dan benua, yang sama-sama bermarkas di kota Buenos Aires.

Contoh-contoh yang saya sebutkan di atas mungkin sangat sederhana dan terang benderang. Maklum, klub-klub yang ambil bagian memang sudah punya sejarah panjang, dan belum termasuk bumbu-bumbu lain seperti perbedaan kelas sosial atau pandangan politik.

El Clasico dan Superclasico (Beinsports.com)
El Clasico dan Superclasico (Beinsports.com)
Tapi, jika konteks label "big match" ini berada di sepak bola Indonesia situasinya jadi sedikit membingungkan. Entah kenapa, hampir semua pertandingan di Liga Indonesia mendapat label "big match".

Jika tujuannya adalah untuk menarik atensi publik, pada titik tertentu, strategi ini bisa dimengerti. Misalnya, jika kedua klub yang bertanding berasal dari provinsi, wilayah atau pulau yang sama.

Sebagai contoh, tajuk "big match Derby Sumatera" bisa saja tersemat, jika partai yang tersaji adalah Sriwijaya FC vs Semen Padang. Kebetulan, selain punya basis penggemar luas di daerahnya, kedua tim pernah juara ISL dan IPL, serta pernah mewakili Indonesia di kompetisi antarklub Asia.

Begitu juga jika kedua klub di atas bertemu PSMS Medan, klub yang memang pernah berjaya di era perserikatan. Ada pertimbangan historis yang masuk akal, selain masih satu pulau

Contoh lain datang dari terminologi "Derby" di Kalimantan, Jawa Timur atau Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, faktor sejarah dan kesamaan daerah asal menjadi satu corak khas di pertemuan PSIS Semarang vs Persis Solo. Selain keduanya, dulu sempat hadir Persijap Jepara, tapi klub dari kota ukir itu belum kembali lagi ke kasta tertinggi.

Di Jawa Timur, ada tiga tim mantan juara liga, yang jika bertemu layak mendapat sebutan "big match", yakni Persebaya Surabaya, Persik Kediri, dan Arema FC.

Tapi, dari ketiganya, posisi aktual Persik Kediri mungkin masih belum seperti di era keemasan dulu. Untuk saat ini, mereka masih berusaha menjaga kestabilan posisi di Liga 1, kurang lebih mirip seperti Madura United, klub asal Jawa Timur lain yang masih muda, tapi sudah beberapa tahun beredar di kasta tertinggi.

Di Kalimantan, posisi ini kurang lebih sama dengan partai Barito Putera vs Borneo FC Samarinda. Kedua tim masih berusaha stabil bertahan di kasta tertinggi, belum sampai bersaing di papan atas tiap tahun.

Jadi, kalau langsung disematkan label "big match", "super duper big match" atau sebangsanya, mungkin ini menarik untuk promosi, tapi bisa jadi kontraproduktif, karena kualitas aktualnya masih belum cukup "kuat" untuk dibebani label partai bergengsi.

Pada titik tertentu, label "big match" di liga Indonesia juga bisa semakin membingungkan, karena belakangan muncul klub-klub yang masih relatif baru macam Dewa United, RANS Nusantara FC, Bhayangkara FC, Persikabo 1973, Bali United, Borneo FC Samarinda, dan Madura United.

Meski rata-rata sudah cukup berprestasi, mereka masih harus menjaga konsistensi dan membangun akar identitas, termasuk ikatan kuat dengan suporter. Jika semua itu sudah terbangun, tanpa harus diada-adakan pun, label "big match" akan tersemat dengan sendirinya.

Untuk "big match" yang sudah cukup mapan di Indonesia, sudah ada laga yang status "big match" nya tidak perlu dipertanyakan, yakni duel yang mempertemukan Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, dan Arema FC, empat klub yang sudah beredar cukup lama di kasta tertinggi.

Di luar prestasi dan basis penggemar luas, keempat tim ini sama-sama punya suporter yang terkenal militan di Indonesia: Bonek, Bobotoh, Jakmania, dan Aremania. Mereka sudah berakar kuat, karena mampu melalui berbagai naik-turun.

Arema, Persib, Persija dan Persebaya, kuartet jagoan klasik Liga Indonesia kekinian (Tribunnews.com)
Arema, Persib, Persija dan Persebaya, kuartet jagoan klasik Liga Indonesia kekinian (Tribunnews.com)
Di sisi lain, pihak televisi atau pemegang hak siar juga perlu lebih objektif, supaya bisa ikut mengedukasi suporter dan media. Kalau masih bingung harus bagaimana, bisa juga melihat ke kompetisi luar negeri

Di luar negeri, situasi ini antara lain terlihat di Liga Inggris. Di musim baru, ada lima klub peserta yang pernah juara Liga Champions Eropa, yakni Liverpool (6 kali juara), Manchester United (3), Chelsea (2), Nottingham Forest (2) dan Aston Villa (1).

Pertanyaannya, apakah semua laga yang melibatkan lima klub ini otomatis disebut "big match"?

Ternyata tidak. Penyebabnya, kekuatan aktual Aston Villa dan Nottingham Forest sangat berbeda dengan masa jayanya dulu. Mereka bahkan sempat naik turun kasta. Forest saja baru promosi tahun 2022, setelah terakhir tampil di kasta tertinggi tahun 1999.

Untuk tiga klub yang disebut pertama, mereka memang sempat mengalami pasang surut, tapi mampu menjaga eksistensi di kasta tertinggi, sehingga tetap punya basis penggemar luas.

Situasinya kurang lebih sama dengan trio juara Liga Champions dari Bundesliga, yakni Bayern Munich (6 kali juara), Borussia Dortmund (1), dan Hamburg SV (1).

Meski sama-sama populer di negaranya, situasi aktualnya sedang timpang. Bayern dan Dortmund masih rutin menggelar Der Klassiker di kasta tertinggi, tapi Hamburg SV masih tersesat di kasta kedua.

Itu baru diantara klub-klub mantan juara Liga Champions, belum termasuk klub-klub mantan juara liga yang jumlahnya lebih banyak lagi.

Tentunya, akan kurang pas jika situasi di masa lalu dipasangkan begitu saja dengan situasi saat ini. Satu atau dua dekade berlalu, situasi sudah sangat berbeda.

Tanpa perlu diberi embel-embel berlebihan pun, setiap pertandingan sepak bola pada dasarnya sudah punya daya tarik alaminya sendiri. Lagipula, "big match" adalah soal kualitas, bukan kuantitas. Terlalu banyak label "big match" justru membuat kompetisi terlihat membosankan.

Tinggal bagaimana itu dimaksimalkan secara natural, supaya pertandingan yang berlangsung bisa berjalan menarik, penuh aksi berkualitas, dan tanpa bumbu insiden baku hantam.

Jika daya tarik itu tidak ditemukan, tapi justru diganti dengan daya tarik yang terkesan dibuat-buat atau dipaksakan, kita patut menduga, mungkin ada yang salah di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun