Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Perlunya Mengubah "Belas Kasihan" Menjadi "Belas Kasih"

15 Juli 2022   15:11 Diperbarui: 15 Juli 2022   15:13 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur saja, diperlakukan tanpa belas kasihan dan "dicemburui" karena mendapat belas kasihan berlebihan itu sama-sama tidak enak. Kadang, ada perasaan tidak berdaya yang kurang mengenakkan.

Di sisi lain, belas kasihan berlebih juga bisa menghadirkan satu kerawanan lain, yakni kecenderungan untuk bersikap seenaknya, atau mendapat cap tidak enak dari lingkungan sekitar.

Di sini, rasa belas kasihan bisa mendatangkan dilema. Digunakan bisa bikin keterusan, tapi jika tidak digunakan bisa membuat kita dicap "ngelunjak" atau sombong.

Akibatnya, cap buruklah yang akan diterima si penyandang disabilitas. Situasi akan lebih rumit, jika satu kasus ini lalu dijadikan alat generalisasi.

Berangkat dari situlah, akan lebih baik jika cara pandang "belas kasihan" diubah menjadi "belas kasih". Dalam artian, si penyandang disabilitas boleh jadi diri sendiri.

Jadi, mereka bisa menemukan potensi terpendam, dan berkembang di sana. Dari sinilah, kelebihannya bisa menjadi penyeimbang sempurna buat kekurangannya.

Satu lagi, dalam menyemangati, tak perlu lagi ada kata-kata ala motivator, atau perbandingan "apple to apple" dengan penyandang disabilitas lain yang sudah sukses. Cara ini sudah terlalu kuno, dan bisa menjadi toksik, karena tidak membebaskan mereka jadi diri sendiri.

Lewat "belas kasih", akan ada kesetaraan yang membuat mereka bisa hidup layak secara ekonomi, sehingga mereka bisa lebih mandiri, bahkan menjadi satu potensi lain untuk lebih diberdayakan dalam jangka panjang.

Secara psikologis, ini bisa menumbuhkan kepercayaan diri dan semangat, karena mereka boleh berkembang dan menemukan perasaan "utuh" sebagai seorang manusia. Inilah satu kebutuhan psikologis penyandang disabilitas, yang kadang justru luput dari perhatian.

Jadi, jika memang ingin menjalankan ekonomi inklusif untuk penyandang disabilitas secara kontinyu, harus ada "mindset" yang perlu diubah. Bukan lagi "belas kasihan" yang memanjakan, tapi "belas kasih" yang mendidik dan memberdayakan.

Di balik kekurangannya, penyandang disabilitas juga manusia yang ingin hidup mandiri selayaknya manusia pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun