"Kita tidak harus selalu menahan diri hanya untuk menyenangkan orang lain."
Itulah salah satu nasehat dari teman lamaku, saat aku sedang kebingungan. Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya, karena dia memang seorang psikolog sekaligus konselor.
Aku ingat, saat itu sisi "tidak tega" ku berdebat sengit dengan sisi tegasku, gara-gara tingkah seorang teman yang dirasa mulai menjurus toksik.
Entah mendapat sinyal apa, suatu saat dia menjadikanku sasaran empuk, karena aku dianggapnya berbuat tidak baik. Sebelumnya, kemarahan semacam ini sudah pernah mampir, dan aku bisa mengatasinya.
Alasannya masih bisa dimengerti, tapi saat situasi serupa ternyata berulang, alarm peringatan dalam diriku langsung meraung-raung seperti ambulans yang melaju di tengah padatnya lalu lintas kota.
Diriku dengan tegas mengingatkan, "Kali ini kamu harus ambil tindakan. Ini sudah mulai kelewat batas. Jangan sampai nanti jadi kebiasaan."
Dalam situasi ini, aku ingat nasehat dari seorang psikolog klinis saat dulu berkonsultasi dengannya di sudut ibukota:
"Bebaskan dirimu secara sadar. Lepaskan saat harus dilepas."
Keputusannya jelas, ambil tindakan tegas. Masalahnya, aku perlu konfirmasi apakah langkah yang akan kuambil ini sudah tepat, perlu diperhalus, atau diperkeras. Karena, dari pengalaman yang sudah-sudah, melawan sesuatu yang toksik selalu menguras tenaga.
Makanya, aku lalu bertanya kepada teman lamaku, yang kebetulan memang praktisi di bidangnya. Ternyata, sarannya juga sama: lampu hijau.