Hasilnya, kita kerap melihat, meski antrean penonton di konser musik dan bioskop kerap berjibun, situasi bisa relatif lebih tertib. Begitu juga dengan yang terjadi di stasiun kereta api atau bandara.
Seharusnya, itu bisa dilakukan juga di pertandingan sepak bola, tempat yang juga sering digunakan sebagai venue konser musik bahkan kampanye pemilu, yang rata-rata berlangsung tertib.
Jika memang mencintai klub kesayangannya, para suporter bisa bersikap tertib, demi klub yang didukungnya. Sama seperti saat Timnas Indonesia bermain di kandang.
Di sinilah klub dan federasi seharusnya ikut berperan mengedukasi. Jadi, mereka tak hanya melihat suporter sebagai sumber pemasukan, tapi bagian dari satu kesatuan besar "football family" (meminjam istilah yang biasa dipakai para Exco PSSI) yang ikut berperan aktif di sepak bola nasional secara umum.
Lagipula, cara ini seharusnya akan lebih efektif, karena bebas dari potensi tindak anarkis, kecuali memang ada oknum sejenis Hooligans di sana.
Melihat situasinya, digitalisasi tiket penonton pertandingan sepak bola di Liga 1 memang perlu disegerakan. Kalau sudah berjalan lancar, klub Liga 2 atau Liga 3 bisa ikut menerapkan.
Berhubung catatan insiden dengan korban penonton di stadion se-Indonesia, termasuk yang sudah terjadi di GBLA, sudah cukup panjang, perlu ada langkah pencegahan nyata untuk meminimalkan catatan serupa di masa depan, misalnya dengan digitalisasi tiket penonton. Karena, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.
Pertanyaannya tinggal kapan itu bisa segera dimulai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H