Dominan. Begitulah gambaran sederhana, dari performa Timnas Argentina saat berjumpa Timnas Italia di Stadion Wembley, Kamis (2/6, dinihari WIB).
Tanpa ampun, sang juara Copa America 2021 menggasak juara Euro 2020 dengan skor 3-0.
Gol-gol Lautaro Martinez dan Angel Di Maria di babak pertama, plus gol Paulo Dybala di menit akhir pertandingan, memastikan trofi Finalissima alias Artemio Franchi kembali diboyong ke Amerika Selatan.
Sebelumnya, pertandingan "Piala Interkontinental" versi antarnegara ini terakhir digelar pada tahun 1993. Kala itu, Argentina (juara Copa America 1991) yang dikapteni Diego Maradona menjadi kampiun, usai menang 5-4 (adu penalti) atas Denmark (juara Eropa 1992).
Kembali ke pertandingan di kota London, dominasi Albiceleste di pertandingan ini terlihat jelas, dari penampilan agresif tim asuhan Lionel Scaloni di lapangan. Dengan menerapkan pressing ketat, permainan Giorgio Chiellini dkk sukses dibuat tak berkembang.
Apesnya, pelatih Roberto Mancini di kubu Italia tampak kebingungan menyusun strategi. Apa boleh buat, Scaloni dan anak asuhnya bisa merajalela di lapangan.
Strategi eks pemain West Ham United itu menjadi sempurna, karena Lionel Messi mampu menjadi pembeda. Meski sebenarnya menjalankan peran nomor punggung 10 seperti biasa, ada kebebasan lebih luas untuknya.
Dalam arti, pemain asal Rosario ini tidak dibebani untuk mencetak gol sebanyak mungkin, dan hanya fokus menjadi motor serangan tim. Entah dirinya mencetak gol atau tidak, yang penting ada efek positif buat tim.
Hasilnya, Si Kutu mampu tampil lepas, dan menginspirasi permainan tim. Terbukti, 2 assist berhasil dibuatnya, lengkap dengan catatan setengah lusin tembakan ke gawang, yang membuat sibuk Gianluigi Donnarumma, rekan setimnya di PSG, yang menjaga gawang Timnas Italia.
Uniknya, di pertandingan melawan Gli Azzurri, Argentina membuat total 9 tembakan ke gawang. Diluar kreasi peluang sang kapten, semuanya mampu dikonversi menjadi gol.
Berkat performa dominannya, bintang PSG ini lalu diganjar penghargaan Man of The Match, tepat sebelum dirinya mengangkat trofi juara.
Performa ciamik sang legenda Barcelona kali ini juga menunjukkan, di usianya yang tahun ini menginjak 35 tahun, ia masih mampu bersinar terang.
Berkat peran khusus yang diberikan pelatih, dan dukungan penuh rekan-rekan setimnya, kapten Timnas Argentina ini mampu menampilkan versi terbaiknya. Satu hal yang sebenarnya sudah lama diharapkan, khususnya oleh publik sepak bola Argentina. Meski agak terlambat datang, masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
Hasilnya, kita dapat melihat permainan Tim Tango yang taktis tapi enak dilihat, tidak lagi terlalu Messi-sentris seperti sebelumnya.
Andai pemain kidal ini dikunci lawan atau berhalangan tampil, masih ada pemain lain yang siap mengisi perannya. Seperti yang sudah dilakukan Rodrigo De Paul dan Angel Di Maria di final Copa America 2021 lalu.
Inilah yang membuat Argentina masih belum terkalahkan sejak tahun 2019, dan cukup diperhitungkan di Piala Dunia 2022 mendatang.
Di sisi lain sinar terang Messi di pertandingan melawan Italia menunjukkan, seberapa luas dimensi yang ditampilkannya di lapangan hijau.
Tentu saja, aspek ini membuat perbandingannya dengan Cristiano Ronaldo menjadi tidak relevan.
Maklum, sejak berfokus menjadi pencetak gol, bintang Portugal itu sangat bergantung pada suplai umpan matang. Berbeda dengan Leo yang justru kerap memasok umpan matang, mengatur tempo, dan membagi bola.
Jadi, alih-alih dibandingkan, akan lebih cocok jika mereka dipadukan, karena akan saling melengkapi.
Dengan usianya saat ini, Piala Dunia 2022 mungkin akan jadi panggung pertunjukan terakhirnya di Timnas Argentina. Sedikit harapan memang ada. Tapi mari kita nikmati saja aksi Si Kutu, dalam versi terbaiknya bersama La Seleccion.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H