Dari segi gaya main, kebanyakan orang memang sudah kadung mengaitkannya dengan strategi "parkir bus" yang terlihat sedikit membosankan.
Tapi, pelatih asal Portugal itu mampu konsisten, dan memaksimalkan kemampuan para pemainnya. Kalaupun harus berbelanja pemain, pemain itu harus sesuai dengan sistemnya dan kebutuhan tim.
Berbeda dengan Pep Guardiola yang dikenal suka bereksperimen taktik, Mourinho tidak pernah melakukan itu, khususnya di fase-fase menentukan.
Penyebabnya, babak lanjut kompetisi adalah tempat dimana hasil akhir jadi penentu nasib, hidup atau mati. Makanya, bermain pragmatis dan menang adalah koentji.
Jika mampu melaju lebih jauh, pengalaman di babak sebelumnya akan jadi modal penting, karena bisa membuat tim semakin terbiasa dengan sistem permainan ala Mourinho.
Alhasil, saat di partai final, tim asuhan eks asisten Louis Van Gaal ini sudah "khatam" dengan taktik sang pelatih, dan bisa meraih kemenangan, karena sudah menyatu sebagai sebuah tim.
Meski belakangan dicap usang, pendekatan ini terbukti masih efektif, karena membuat para pemain tahu apa yang harus dilakukan, dan menjadi titik fokus.Â
Soal hal yang bisa mendistraksi tim, Mou biasa menanganinya, berkat kepiawaiannya berbicara di depan media. Meski kadang unik, komentar-komentarnya masih terbukti ampuh.
Menariknya, di balik image "Veni Vidi Vici" (lihat, datang, menang) seorang Jose Mourinho sebagai pelatih jempolan, ternyata tetap ada proses yang harus dijalani untuk bisa semakin mematangkan taktik, dan memperkuat kekompakan tim sejak awal musim. Tanpanya, prestasi mustahil diraih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H