Repetisi dengan revisi, dengan sedikit bumbu situasi gawat darurat. Begitulah pendapat saya, saat melihat bagaimana aksi Liverpool di final Piala FA, Sabtu (14/5).
Disebut demikian, karena The Kop kembali bersua Chelsea di Stadion Wembley, di bawah komando dua pelatih asal Jerman penganut gegenpressing: Juergen Klopp di sudut merah, dan Thomas Tuchel di sudut biru.
Bedanya, duel final yang dimenangkan Liverpool dengan skor 6-5 ini menyajikan satu revisi, karena kedua tim sama-sama menampilkan kiper utama tim tanpa ada yang menggantikan. Tidak seperti final Carabao Cup.
Di sini, revisi itu dibumbui Liverpool, dengan modal situasi gawat darurat sebelum laga.
Dalam duel di Stadion Wembley ini, nuansa gawat darurat sudah terlihat, dengan absennya Fabinho. Gelandang jangkar andalan The Reds ini absen akibat cedera otot di pertandingan melawan Aston Villa, kurang dari sepekan sebelum final digelar.
Sebagai gantinya, pelatih Juergen Klopp memasang Jordan Henderson, mendampingi duet dinamis Thiago Alcantara-Naby Keita di lini tengah.
Hasilnya, lini tengah Si Merah mampu meladeni skema permainan yang diusung Chelsea, tim yang sebelumnya juga menjadi lawan di final Carabao Cup, bulan Februari lalu.
Duel yang oleh media disebut-sebut sebagai ulangan final Carabao Cup ini, pada akhirnya memang berjalan intens seperti final Carabao Cup. Kedua tim bertarung sengit dan saling jual beli serangan.
Di sisi lain, situasi gawat darurat kembali dialami Liverpool di final kali ini, setelah Mohamed Salah mengalami cedera otot di babak pertama. Apa boleh buat, bintang Mesir itu harus ditarik dan digantikan dengan Diogo Jota.
Uniknya, situasi serupa juga dialami Liverpool di final Carabao Cup. Kala itu, mereka harus kehilangan Thiago Alcantara, yang mengalami cedera otot saat pemanasan jelang pertandingan.