Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Setelah Deddy Corbuzier Disemprit Warganet

11 Mei 2022   06:35 Diperbarui: 11 Mei 2022   06:50 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deddy Corbuzier (Kompas.com)

Seiring viralnya tayangan podcast Deddy Corbuzier yang menampilkan pasangan gay baru-baru ini, kegaduhan muncul di dunia maya. Saking gaduhnya, sang kreator konten sampai harus sibuk mengklarifikasi.

Untuk mencegah masalah lebih lanjut, tayangan ini akhirnya sampai harus dihapus dari platform YouTube, meski sudah tayang jutaan kali.

Memang, ada sedikit tujuan positif, yang seharusnya bisa ditangkap dari tayangan ini, khususnya dalam hal membangun kesadaran bahwa mereka "ada" dan bisa dikenali.

Dalam posisi YouTube sebagai platform global, sebetulnya topik ini tidak jadi masalah, karena YouTube sendiri memang ikut mengkampanyekan gerakan anti-diskriminasi pada kaum "terpinggirkan", termasuk LGBT, dalam perspektif budaya liberal.

Kalau podcast ini tayang dan menyasar audiens Thailand atau Jerman misalnya, mungkin tak akan gaduh apalagi sampai dihapus, karena negara itu memang melegalkan.

Masalahnya, ketika tayangan jenis ini menyasar target audiens khusus, dalam hal ini warganet Indonesia, gesekan jelas tak terhindarkan. Maklum, dalam perspektif budaya Indonesia, LGBT termasuk hal tabu, tak boleh diutak-atik.

Status "tak boleh diutak-atik" ini semakin paten, karena ajaran lintas agama juga melarang. Selain karena berkaitan dengan perspektif moral dan sosial, ini juga berkaitan dengan kesehatan, khususnya kesehatan fisik dan mental.

Ditambah lagi, Indonesia termasuk negara yang mengharamkan hubungan apalagi pernikahan sejenis. Jadi, wajar jika banyak pro-kontra muncul, segera setelah tayangan ini viral. Apalagi, pasangan gay yang dihadirkan Deddy Corbuzier statusnya sudah "menikah" di luar negeri, dalam hal ini negara yang memang melegalkan pernikahan sejenis.

Sebenarnya, kanal podcast ini memang biasa menampilkan narasumber dengan topik dan perspektif tak biasa. Tapi, kali ini mereka membuat blunder fatal, karena membahas satu perilaku "menyimpang" secara psikologis dan orientasi seksual, dengan menghadirkan "pelaku", bukan ahli di bidangnya.

Jadi, wajar kalau sebagian masyarakat memandang, tayangan ini terkesan seperti mengkampanyekan LGBT, meski sebenarnya tidak bermaksud seperti itu.

Dalam beberapa kasus, perspektif dari pelaku atau "praktisi" memang bisa membantu. Tapi, tidak untuk topik sensitif seperti ini. Apalagi, kalau masyarakatnya sudah memegang teguh ajaran agama. Pada umumnya, masyarakat akan kompak berkata "tidak" untuk hal yang dilarang agama.

Karena LGBT pada dasarnya adalah satu perilaku seksual menyimpang, dan bersifat psikis, seharusnya Deddy Corbuzier mendatangkan seksolog seperti Dr. Boyke yang sudah dikenal luas, atau psikolog seperti Inez Kristanti yang punya banyak follower di media sosial.

Jadi, meskipun topiknya sensitif, masyarakat masih bisa menerima, karena yang memaparkan adalah tenaga ahli, bukan "pelaku". Ada ilmu pengetahuan yang bisa diterima tanpa menghasilkan pro-kontra, dan kesadaran bahwa mereka "ada" di Indonesia, walaupun tidak terlihat secara terang-terangan.

Lebih jauh, edukasi dari tenaga ahli juga bisa mencegah diskriminasi, minimal dalam hal stereotip, khususnya pada penderita kelainan hormonal. Seperti yang beberapa waktu lalu dialami Aprilia Manganang, mantan atlet voli putri Indonesia, yang kini telah menjadi anggota TNI, dengan nama Aprilio Perkasa Manganang (setelah bertransisi menjadi pria).

Pada kasus ini, kelainan hormonal yang dideritanya telah ditangani secara medis, sehingga ia kini telah jadi pria seutuhnya.

Edukasi dari perspektif keilmuan menjadi perlu sebagai pelengkap, karena ajaran lintas agama sifatnya sudah "tidak bisa diganggu gugat".

Batasannya pun tegas: perilaku menyimpang tidak bisa ditoleransi, tapi perbedaan bisa, termasuk pada para penderita kelainan hormonal, yang digolongkan sebagai kategori "berkebutuhan khusus".

Edukasi semacam ini penting, supaya masyarakat bisa menyadari dan mengenali, syukur-syukur ikut berkontribusi mencegah (dan mengobati). Dengan didasari kesadaran yang benar, seharusnya tak perlu lagi ada kegaduhan.

Kalaupun ikut melibatkan perspektif agama, perspektif yang ada seharusnya bersifat lintas agama. Dengan demikian, masyarakat juga sekalian belajar lagi soal toleransi.

Sebenarnya, masalah perilaku seksual menyimpang ini punya sifat yang mirip dengan radikalisme dan ekstremisme: tidak terlihat secara terang-terangan, tapi menjadi bahaya laten yang bisa sangat merusak jika terus dibiarkan.

Andai respon terhadap radikalisme dan ekstremisme di masyarakat kita sekuat respon terhadap masalah LGBT atau sejenisnya, persatuan negara ini pasti akan jauh lebih kuat dari sekarang.

Pertanyaannya simpel: kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun