Penyebabnya, permainan agresif ala Xavi masih meninggalkan celah terbuka di lini belakang. Inilah yang rawan ditembus tim lawan.
Untuk kasus pertama, ini terlihat dari kekalahan melawan Cadiz. Meski mendominasi permainan dan menggempur habis-habisan pertahanan lawan, mereka tak mampu mencetak gol.
Sebaliknya, Cadiz yang hanya sesekali menyerang mampu menjebol gawang Marc-Andre Ter Stegen. Cukup satu gol, dan Barca dibuat buntu, selesai sudah.
Klub Andalusia itu hanya perlu bertahan rapat, sambil sesekali bergerilya lewat serangan balik. Sebuah cara klasik yang sederhana.
Cara lain yang menurut saya lebih nekat tapi terukur, tersaji dalam laga melawan Eintracht Frankfurt. Dengan sistem permainan gegenpressing khas Jerman, klub Bundesliga Jerman itu mampu unggul 3-0 sampai masa injury time di Nou Camp.
Gegenpressing sendiri memang jadi antitesis ampuh buat filosofi tiki-taka ala Barcelona. Masalahnya, tim yang menggunakan gaya main frontal ini rawan  kehabisan tenaga di menit akhir, sehingga rawan dijebol.
Buktinya, Gerard Pique dkk mampu mencetak dua gol di masa injury time, meski sebenarnya sudah terlambat.
Boleh dibilang, dua kekalahan beruntun ini menunjukkan, sistem permainan ala Xavi Hernandez sudah mulai "khatam" dipelajari lawan. Jika masih terpaku pada kemenangan 4-0 di El Clasico dan narasi soal "bermain bagus", tren negatif ini bisa saja berlanjut.
Akibatnya, tim yang sempat optimis bisa mengejar trofi liga, bisa terancam gagal lolos ke Liga Champions musim depan.
Xavi memang telah memperbaiki situasi semrawut di era kepelatihan Ronald Koeman, tapi masih banyak hal yang harus diperbaiki, untuk membuat Azulgrana kembali kompetitif dalam pacuan gelar juara.
Seharusnya, dua kekalahan beruntun ini bisa jadi alarm peringatan yang bagus buat The Catalans.