Bicara soal kehadiran pemain bintang dalam satu tim, tentu ada banyak harapan dan keyakinan padanya. Apalagi, jika si pemain pernah mencatat periode sukses dan bersinar di sana.
Tapi, jika harapan itu terlalu tinggi, rasa kecewa yang datang bisa terasa sangat pahit. Terutama jika semua berjalan jauh dari yang diharapkan.
Situasi inilah yang sedang dialami Cristiano Ronaldo, dalam periode keduanya di Manchester United.
Datang atas bujukan Sir Alex Ferguson, dengan didahului rentetan drama seputar ketidaknyamanan di Juventus, harapan besar tampak tersemat padanya. Apalagi, pada prosesnya, sang superstar sempat didekati Manchester City, sebelum akhirnya balik kanan.
Dalam keduanya, memang ada harapan yang saling berkaitan. The Red Devils dan Ronaldo sama-sama berharap, kisah kedua mereka bisa semanis periode pertama dulu. Masa saat sudut merah kota Manchester masih bergelimang pemain bintang dan trofi juara, bukan cerita lawak.
Di awal, sambutan meriah juga didapat sang pemenang 5 Ballon D'Or, layaknya pahlawan pulang dari medan tempur. Situasi makin terlihat sempurna, karena debut keduanya dihiasi dua gol ke gawang Newcastle United.
Saat Si Setan Merah mengalami turbulensi setelahnya pun, CR7 masih menjadi satu nama yang terlihat bersinar. Selusin gol dan 3 assist di liga, plus enam gol di Eropa menjadi bukti.
Masalahnya, ketika Ralf Rangnick datang sebagai pelatih interim, menggantikan Ole Gunnar Solskjaer yang dipecat, situasi menjadi buruk buat rival Lionel Messi ini.
Sistem gegenpressing yang diterapkan mentor Juergen Klopp itu tampak kurang cocok dengan gaya mainnya yang cenderung pasif. Meski sempat mencetak hattrick ke gawang Tottenham Hotspur, pemain nomor punggung 7 ini kerap tampil melempem.
Jangankan mencetak gol, mendapat kesempatan menembak saja mulai sulit. Pola pergerakannya sudah khatam dibaca lawan. Kuncinya pun simpel, jangan sampai dia dapat bola.