Mungkin, masih ada pihak yang menganggap masalah klitih terlalu dibesar-besarkan, tapi karena ini sudah terjadi sejak lama, bahkan beberapa kali memakan korban jiwa, maka harus ada tindakan tegas, dengan koordinasi terpadu, tidak tumpang tindih.
Langkahnya jelas tidak perlu sampai seekstrim kebijakan pemberantasan kriminalitas "Petrus" (penembakan misterius) seperti di era Orde Baru. Tapi, pemerintah daerah dan pihak terkait harus bisa memastikan, ada kebijakan dengan efek jera, yang bisa melemahkan, dan melenyapkan klitih perlahan-lahan secara sistematis.
Bukankah sesuatu yang sistematis perlu ditangani secara sistematis juga?
Dalam citra Yogyakarta sebagai destinasi wisata dan pendidikan, masalah klitih ini jelas berkaitan dengan rasa aman dan kepercayaan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sini, mereka yang mengirim keluarganya studi di Yogyakarta, atau mereka yang berwisata ke Yogyakarta.
Sudah saatnya romantisasi Jogja, termasuk soal "rindu, pulang, dan angkringan" ditepikan dulu sejenak, setidaknya sampai klitih benar-benar sudah diberantas. Begitu juga dengan kesan "murah meriah" yang selama ini getol dicitrakan, karena harga keselamatan bersama jelas jauh lebih mahal.
Karena, bisa pulang ke Jogja, belanja murah meriah, dan melepas rindu di angkringan, tapi setelahnya malah jadi korban klitih jelas tidak mengenakkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI