Logika ajaib itu bisa dilihat, dari viralnya kasus klitih baru-baru ini. Beritanya bisa langsung viral dan menasional, sampai memantik reaksi gubernur dan pihak terkait. Padahal, kasus-kasus sebelumnya tak pernah sampai seheboh ini.
Ternyata, selain karena memakan korban jiwa, korban aksi klitih ini adalah anak seorang pejabat daerah lain, yang kebetulan memang sedang studi di Yogyakarta.
Pertanyaannya simpel, apa memang harus menunggu sampai anak seorang pejabat jadi korban, baru ada respon dan tindakan tegas?
Ini jelas satu kebiasaan buruk. Kalau masih saja dilanjutkan, akan ada kecemburuan sosial, dan keraguan apakah tindakan setegas ini juga bisa diambil, jika korbannya berasal dari kalangan orang biasa.
Bukankah, konon katanya, semua sama di mata hukum?
Logika ajaib lain yang juga terlihat di sini adalah, langkah Polda dan Pemda, yang menghapus istilah klitih, dan menggantikannya dengan istilah "kejahatan jalanan pada pelajar".
Penyebabnya, dalam bahasa Jawa, kata  "klitih" sendiri pada dasarnya berarti aksi "cari angin", tapi oleh para pelaku kejahatan jalanan (meminjam istilah baru klitih) klitih menjadi akronim dari "keliling golek getih", alias aksi "keliling cari (korban) darah".
Ini mirip seperti kata "bajingan", yang dulunya identik dengan profesi kusir andong sapi, tapi bergeser jadi kata makian karena perubahan zaman membuat keberadaan andong sapi menghilang.
Tentu saja, pergantian istilah ini adalah satu permainan logika yang ajaib buat saya. Rasanya seperti melihat ritual ganti nama (dalam budaya Jawa) jika si anak sering sakit-sakitan semasa kecil.
Kasus ganti nama (dengan ritual ganti nama) paling terkenal terjadi pada seorang bocah bernama Koesno Sosrodihardjo. Kejadian ini terjadi pada awal abad ke 20 di Provinsi Jawa Timur.
Karena sering sakit-sakitan semasa kecilnya, orangtua Koesno memutuskan untuk mengadakan ritual ganti nama. Alhasil, namanya berubah menjadi Soekarno, nama yang kelak dikenal sebagai proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia.