Tuntasnya undian fase grup Piala Dunia 2022 lalu menyisakan banyak cerita. Salah satunya berkaitan dengan prediksi lewat metode cocoklogi.
Di sini, ada beberapa teori cocoklogi yang muncul, khususnya di kalangan penggemar tim nasional tertentu, ditambah penggemar garis keras Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Tentu saja, ada unsur subjektivitas di sini, karena ini adalah satu cara fans mendukung tim atau pemain idola masing-masing.
Di kalangan penggemar Inggris misalnya, prediksi dengan cocoklogi menjagokan Harry Kane dkk juara di Qatar. Kok bisa?
Prediksi ini muncul, setelah Tim Tiga Singa hadir sebagai finalis Piala Eropa 2020, yang partai finalnya digelar di Wembley, stadion kandang utama Timnas Inggris.
Pada Piala Dunia edisi sebelumnya, tim pemenang yakni Prancis lolos ke Rusia sebagai finalis Piala Eropa 2016 di negeri sendiri.
Sementara itu, dengan teori cocoklogi juga, juara bertahan Prancis malah kebagian prediksi horor: terancam gagal lolos dari fase grup. Kalaupun lolos, Kylian Mbappe dkk akan masuk kotak.
Prediksi pertama sebenarnya cukup masuk akal secara rekam jejak, khususnya sejak pergantian milenium, atau Piala Dunia 2002. Pada Piala Dunia 2002 sendiri, Zinedine Zidane dkk datang ke Korea Selatan-Jepang sebagai juara bertahan, tapi langsung kandas di fase grup.
Kebetulan, turnamen edisi kali ini juga berlangsung di benua Asia. Kebetulan yang ada juga semakin terasa horor buat Les Bleus, karena sejak pergantian milenium, hanya Brasil (juara edisi 2002) yang bisa lolos ke fase gugur sebagai juara bertahan, tepatnya di Piala Dunia 2006.
Â
Kala itu, Ronaldinho dkk datang sebagai juara bertahan, dengan tim bertabur bintang. Di Jerman, Selecao melaju ke babak perempatfinal, sebelum akhirnya dipaksa takluk 0-1 oleh Prancis, tim yang akhirnya menjadi finalis, berkat penampilan jenius Zinedine Zidane.
Selebihnya, tim-tim juara bertahan selalu kandas di fase grup, meski komposisi tim dan pelatihnya relatif sama dengan edisi sebelumnya.
Italia ambyar di Afrika Selatan bersama Marcello Lippi. Spanyol dan tiki-taka nya hancur lebur di Brasil bersama Vicente Del Bosque, dengan gol sundulan terbang Robin Van Persie ke gawang Iker Casillas sebagai momen ikonik.
Tak ketinggalan, Jerman yang masih dikomandoi Joachim Loew juga dipaksa menanggung malu di edisi berikutnya. Tim Panser yang ganas di kualifikasi, sebagai juara bertahan, justru tampil loyo di turnamen sesungguhnya.
Tidak tanggung-tanggung, Manuel Neuer dkk bahkan langsung tersingkir di fase grup, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah partisipasi mereka di Piala Dunia. Sebelum dipaksa membeku di Rusia, prestasi terburuk Der Panzer adalah terhenti di babak perempatfinal.
Dari segi catatan sejarah, rekam jejaknya juga kurang menguntungkan. Sejak Brasil-nya Pele di edisi 1958 dan 1962, belum ada lagi tim yang mampu meraih juara beruntun.
Sementara itu, para penggemar tim-tim dari Benua Asia menyambut Piala Dunia 2022 dengan optimis. Maklum, Piala Dunia kali ini dihelat di Asia.
Ada sedikit asa buat tim Asia lolos ke babak gugur, bahkan melaju jauh, seperti Korea Selatan dan Jepang dua dekade silam.
Meski pada prosesnya dihiasi momen-momen kontroversial, kesuksesan Korea Selatan menjadi semifinalis di benua sendiri agaknya akan tetap diingat sebagai inspirasi buat tim-tim dari Benua Kuning.
Di sisi lain, nostalgia karena faktor lokasi juga jadi satu alasan sebagian penggemar Timnas Brasil untuk optimis.
Maklum benua Asia menjadi tempat saat Tim Samba meraih trofi Piala Dunia kelima (dan terakhir hingga kini) tepat dua dekade silam.
Momen bersejarah ini makin "memorable", karena Ronaldo muncul sebagai pahlawan, dan sempat menjadi inspirasi gaya banyak bocah dan emak-emak di seluruh dunia, berkat gaya rambut uniknya.
Tapi, sejak 1962 Selecao punya siklus naik turun yang terlihat tiap 20 tahun sekali.
Di edisi 1962, Brasil dan Pele berjaya di Chile, tapi Zico dkk dipaksa patah hati di Spanyol 1982 karena hattrick Paolo Rossi membuat mereka gagal lolos ke semifinal.
Dua dekade kemudian, giliran Ronaldo yang berjaya di Korea Selatan dan Jepang. Jika siklus ini berlanjut, Brasil akan mentok di babak perempatfinal.
Di Eropa, logika cocoklogi rupanya juga menjadi satu amunisi buat pendukung fanatik Ronaldo yang lain, yakni Cristiano Ronaldo.
Ronaldo dari Portugal ini disebut-sebut bisa jadi juara di Qatar, karena Timnas Portugal tergabung di grup H, bersama Uruguay, Ghana dan Korea Selatan. Satu lagi, CR7 adalah top skor Euro 2020.
Â
Lalu, apa hubungan grup H dan top skor Euro dengan juara dunia?
Ternyata, sejak Piala Dunia 2010, tim juara dunia berasal dari grup H. Pada periode yang sama, tim juara dunia juga berasal dari tim yang diperkuat top skor Euro.
Mulai dari David Villa (top skor Euro 2008), Mario Gomez (Euro 2012) dan Antoine Griezmann (Euro 2016) semuanya menjadi argumentasi para penggemar sang bintang untuk mendukung prediksi mereka.
Masalahnya, teori cocoklogi ini ternyata tidak valid, karena top skor Euro 2012 adalah Fernando Torres. Meski jumlah golnya sama dengan Gomez, El Nino berhak meraih sepatu emas, karena juga mencetak assist dalam menit bermain lebih sedikit.
Di sisi lain, sejak Euro 1988, ada siklus delapan tahunan yang menghantui para  top skor turnamen ini. Dimulai dari Marco Van Basten (1988), Alan Shearer (1996), Milan Baros (2004) dan Fernando Torres (2012), semuanya tampil melempem di Piala Dunia.
Belanda dan Inggris keok di perdelapan final Piala Dunia 1990 dan 1998. Republik Ceko dan Spanyol lebih gawat lagi, kandas di fase grup Piala Dunia 2006 dan 2014.
Jika siklus ini dirunut, ada kemungkinan Seleccao tak akan melangkah jauh di Qatar. Suram kan?
Di kubu sebelahnya, teori cocoklogi juga menjadi satu amunisi pendukung garis keras Lionel Messi, untuk menjagokan Argentina juara.
Meski sebenarnya performa Albiceleste sedang bagus, setelah tak terkalahkan sejak tahun 2019 dan juara Copa America 2021, teori cocoklogi ternyata juga ikut membumbui.
Alasannya, Kanada lolos ke Piala Dunia 2022. Momen ini dianggap sebagai pertanda baik, karena saat Kanada pertama kali tampil di Piala Dunia (1986) Argentina berjaya berkat inspirasi Maradona.
Tapi sejarah mencatat, sejak edisi 1962, Argentina punya siklus 20 tahunan yang kurang baik. Terbukti, di edisi 1962, 1982 dan 2002, laju Tim Tango terhenti di fase grup (1962 dan 2002) dan babak kedua (1982).
Jika merunut siklus ini, ada kemungkinan Argentina mentok di babak kedua. Catatan ini tidak kalah muram dengan Portugal, jika cocoklogi benar-benar digunakan.
Memang, masih ada begitu banyak teori cocoklogi lain yang berseliweran, antara lain di media sosial, dengan sudut pandang masing-masing. Tapi, itu semua bukan acuan mutlak, hanya bumbu pelengkap yang ikut meramaikan.
Pada akhirnya, semua ditentukan, bukan lewat seabrek teori cocoklogi, tapi lewat hasil akhir di lapangan. Selama bola itu masih bundar, semua kemungkinan masih bisa terjadi, sekalipun peluangnya sangat kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H