Italia ambyar di Afrika Selatan bersama Marcello Lippi. Spanyol dan tiki-taka nya hancur lebur di Brasil bersama Vicente Del Bosque, dengan gol sundulan terbang Robin Van Persie ke gawang Iker Casillas sebagai momen ikonik.
Tak ketinggalan, Jerman yang masih dikomandoi Joachim Loew juga dipaksa menanggung malu di edisi berikutnya. Tim Panser yang ganas di kualifikasi, sebagai juara bertahan, justru tampil loyo di turnamen sesungguhnya.
Tidak tanggung-tanggung, Manuel Neuer dkk bahkan langsung tersingkir di fase grup, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah partisipasi mereka di Piala Dunia. Sebelum dipaksa membeku di Rusia, prestasi terburuk Der Panzer adalah terhenti di babak perempatfinal.
Dari segi catatan sejarah, rekam jejaknya juga kurang menguntungkan. Sejak Brasil-nya Pele di edisi 1958 dan 1962, belum ada lagi tim yang mampu meraih juara beruntun.
Sementara itu, para penggemar tim-tim dari Benua Asia menyambut Piala Dunia 2022 dengan optimis. Maklum, Piala Dunia kali ini dihelat di Asia.
Ada sedikit asa buat tim Asia lolos ke babak gugur, bahkan melaju jauh, seperti Korea Selatan dan Jepang dua dekade silam.
Meski pada prosesnya dihiasi momen-momen kontroversial, kesuksesan Korea Selatan menjadi semifinalis di benua sendiri agaknya akan tetap diingat sebagai inspirasi buat tim-tim dari Benua Kuning.
Di sisi lain, nostalgia karena faktor lokasi juga jadi satu alasan sebagian penggemar Timnas Brasil untuk optimis.
Maklum benua Asia menjadi tempat saat Tim Samba meraih trofi Piala Dunia kelima (dan terakhir hingga kini) tepat dua dekade silam.
Momen bersejarah ini makin "memorable", karena Ronaldo muncul sebagai pahlawan, dan sempat menjadi inspirasi gaya banyak bocah dan emak-emak di seluruh dunia, berkat gaya rambut uniknya.
Tapi, sejak 1962 Selecao punya siklus naik turun yang terlihat tiap 20 tahun sekali.