Sisi ironis ini semakin lengkap, karena dilakukan oleh lembaga pendidikan yang seharusnya menekankan pentingnya integritas dan konsistensi, bukan standar ganda.
Lebih mengerikannya lagi, perlakuan jomplang juga didapat, pada alumni yang harus memulai dari bawah. Bukan lagi nol, tapi sudah sampai minus.
Pada situasi sulit ini, almamater yang biasanya begitu membanggakan nama besar, kadang seperti amnesia. Pada titik ekstrem, alumni yang "belum jadi apa-apa" ini kadang dianggap sebagai "beban", karena tak lagi bisa memberi manfaat.
Sudah lulus, sudah bebas SPP, selesai urusan. Makanya, ketika mereka sudah sukses dan dihubungi sebagai " alumni", ada sedikit rasa jengkel yang tersisa. Karena, mereka muncul dengan tenangnya, seolah sudah melakukan segalanya.
Dimana mereka pada saat-saat paling sulit? Apakah mereka masih membantu pada saat sudah jadi alumni?
Jadi, bukan kejutan kalau ada alumni yang memilih "minggir" dari hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau kampus mereka dulu.
Itu belum termasuk mereka yang menjalani masa sulit selama studi, entah karena di-bully atau pengalaman traumatis lainnya.
Hal-hal negatif seperti ini tidak akan mudah terhapus dari ingatan, karena otak manusia bukan flashdisk atau hard disk yang bisa diformat ulang hanya dengan sekali klik.
Memang, tidak semua bersikap seperti itu, karena ada juga lembaga pendidikan yang menganggap alumninya sebagai "aset" dan "representasi berjalan", disamping tentu saja sebagai seorang manusia.
Makanya, ada sekolah atau kampus yang benar-benar bisa membangun hubungan baik dengan alumni, dan hadir di berbagai situasi, senang maupun sulit.
Inilah yang membuat hubungan yang ada cenderung awet, karena alumni benar-benar dimanusiakan, bukan hanya dipandang sebagai mesin ATM, pengumpul trofi, atau sapi perah.