Tapi, ia tetap jadi kopi dengan karakter sebagaimana adanya. Dia bukan pejabat yang hanya mendekat ke rakyat saat minta dipilih, tapi lupa diri setelah terpilih.
Walau keberagaman yang ada terlihat membingungkan, nyatanya kopi tidak pernah protes. Dia tetap mampu menyatu dengan semua keberagaman ini, tanpa kehilangan karakternya. Satu hal yang sangat Nusantara.
Hebatnya, meski punya karakter khas yang kuat, kopi tidak pernah menjadi ekstremis. Karena, semua keberagaman yang melekat padanya setara. Tak ada jenis kopi yang lebih baik atau buruk, kelas elit atau bukan.
Ini murni soal selera, dan setiap penikmat kopi pasti punya selera dan perspektif sendiri. Semuanya benar, tak ada yang salah.
Jadi, agak aneh kalau ternyata masih ada segelintir orang yang punya titik ekstrem soal selera, dan menciptakan filosofi rasa dikotomi dari sana.
Itu bukan salah kopinya, tapi salah orangnya, karena mereka terlalu mengedepankan ego, dan menganggap dirinya paling benar. Padahal, beda orang mungkin beda selera.
Jangan lupa, tidak semua peminum kopi bisa langsung menikmati rasa kopi murni tanpa gula yang paling keras di kesempatan pertama. Kadang, beda orang beda proses, karena beda kemampuan tubuh.
Ada yang memulainya dari kopi sachet tanpa ampas, sebelum pelan-pelan naik ke tingkat yang lebih "keras" bagi tubuh mereka.
Mirip seperti anak yang sedang bersekolah. Perlu menapaki beberapa tingkatan untuk bisa naik jenjang, dan bekerja di tempat yang layak. Kecuali, keluarga mereka memang sudah kaya tujuh turunan.
Ada yang nekat tapi langsung tumbang, karena asam lambungnya berontak keras. Apakah itu sepenuhnya salah sang kopi?
Tidak juga. Masalah ini datang, lebih karena ketidakmampuan si peminum mengukur batasan dirinya. Kopi hanya memberikan apa yang dia bisa berikan secara adil, apapun kondisi peminumnya, siapapun mereka.