Di era media sosial seperti sekarang, "flexing" menjadi satu hal yang umum terlihat. Bentuknya pun beragam.
Ada yang menunjukkan prestasi, ada yang unjuk kemesraan, ada yang memang karena urusan promosi atau pekerjaan, ada juga yang cuma pamer.
Semua tujuan itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti punya pertimbangan sendiri. Masalahnya, semakin ke sini, "flexing" makin menyasar ke hal-hal yang seharusnya privat.
Pada kasus pamer kekayaan, sebagian pelaku flexing bahkan sampai berani menyebut nominal penghasilan dan harga barang mewah miliknya.
Padahal, hal-hal seperti ini seharusnya tak boleh diumbar sembarangan. Selain karena privat, ini berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan.
Semakin banyak yang tahu, semakin rawan juga posisinya. Maling bisa mencuri saat ada kesempatan, sementara Ditjen Pajak siap mencolek dan menagih kapan saja, terutama jika potensi penerimaan pajaknya besar.
Bukan cuma itu, orang-orang terdekat pun bisa berpikiran aneh-aneh. Ada yang menawarkan investasi bodong, ada yang bergosip soal darimana kekayaan itu didapat.
Bahkan, ada juga yang bisa dengan enaknya memberi cap pelit, sekalipun permintaannya memang pantas ditolak, misalnya karena tidak masuk akal.
Apa boleh buat, "flexing" yang tadinya jadi senjata untuk membanggakan diri, justru berubah jadi senjata makan tuan. Sudah kena pajak besar, privasi hilang, pengeluaran membengkak pula. Belum lagi kalau misalnya ketiban sial, entah kecurian atau kebanjiran. Amsyong.