Kekalahan 0-1 Italia atas Makedonia Utara di play-off Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Eropa, Jumat (25/3, dinihari WIB) menandai kegagalan sang juara Eropa lolos ke Qatar. Ini menjadi kegagalan kedua beruntun Gli Azzurri, setelah sebelumnya absen di Piala Dunia 2018 setelah kalah agregat dari Swedia, juga di babak play off.
Di babak kualifikasi reguler, tim juara dunia empat kali ini sebenarnya berpeluang lolos, tapi perolehan poin mereka ditikung Swiss di partai akhir.
Kegagalan ini tentu menyesakkan, karena tim asuhan Roberto Mancini belum genap setahun silam berjaya di Wembley sebagai juara Euro 2020, berkat penampilan perkasa sejak babak kualifikasi sampai putaran final.
Padahal, Giorgio Chiellini dkk bukan tim yang dijagokan juara di turnamen ini. Maklum, absen tampil di Rusia telah menghadirkan keraguan di mata banyak pihak.
Ternyata, cerita absensi raja Eropa di Piala Dunia ini ternyata sudah pernah terjadi sebelumnya. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali, dan uniknya juga melibatkan tim-tim kejutan.
Cerita dimulai dengan kegagalan Cekoslovakia (kini Republik Ceko dan Slovakia) lolos ke Piala Dunia 1978.Â
Memulai kualifikasi sebagai juara Piala Eropa 1976 di Yugoslavia, mereka banyak disorot, berkat penampilan sensasional di turnamen empat tahunan itu.Â
Pada prosesnya, tim Eropa Timur ini mengalahkan Belanda dan Jerman (Barat) dua tim terbaik dunia saat itu, plus penalti Panenka yang tersohor itu, mereka terlihat berpeluang lolos dengan mudah.
Tapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Antonin Panenka cs gagal lolos ke Argentina, setelah Skotlandia yang dimotori Sir Kenny Dalglish (legenda Liverpool) mampu keluar sebagai juara grup.
Cekoslovakia memang mengawali babak kualifikasi dengan mengalahkan The Tartan Army 2-0 di Praha. Tapi, dua kekalahan beruntun atas Skotlandia dan Wales, plus aksi sapu bersih Sir Kenny Dalglish dkk di tiga laga sisa, memastikan finalis Piala Dunia 1934 dan 1962 ini menjadi juara Eropa pertama yang absen di Piala Dunia.
Cerita serupa terjadi lagi, di Kualifikasi Piala Dunia 1994 zona Eropa. Kali ini, giliran Denmark yang jadi pesakitan.
Mengawali babak kualifikasi sebagai juara Euro 1992, Tim Dinamit sebenarnya cukup diunggulkan. Maklum, selain Spanyol, lawan terberat mereka adalah Irlandia, tim yang grafik performanya kurang konsisten.
Tak heran, performa mereka di babak kualifikasi cukup baik. Dari 12 pertandingan, 7 kemenangan, 4 hasil imbang. Catatan golnya pun impresif, karena berhasil mencetak 15 gol dan hanya kebobolan dua gol.
Sayang, 18 poin yang dikumpulkan Brian Laudrup dkk tak cukup membawa mereka lolos ke Amerika Serikat. Mereka kalah head-to-head dan produktivitas gol dari Irlandia, yang sama-sama mengantongi 18 poin.
Tim lain yang lolos, yakni Spanyol keluar sebagai juara grup dengan poin 19. Saat itu, satu kemenangan bernilai 2 poin, belum 3 poin seperti sekarang.
Kegagalan Denmark saat itu tak kalah mengejutkan, dengan dongeng juara Eropa mereka. Tapi, kegagalan ini mampu ditebus di Piala Dunia 1998, dengan mencatat sejarah lolos ke perempatfinal, capaian tertinggi negara Skandinavia itu di Piala Dunia.
Di era milenium baru, giliran Yunani yang bernasib apes. Setelah menciptakan dongeng juara Euro 2004 di Portugal, Giorgios Karagounis sebenarnya berada di grup yang tidak terlalu berat.
Ada Ukraina, Turki dan Denmark, yang secara kekuatan sebenarnya cukup seimbang. Selebihnya, ada Georgia, Albania dan Kazakhstan, yang pada saat itu masih jadi anak bawang.
Tapi, diluar dugaan, Ukraina mampu menjadi juara grup berkat torehan 25 poin dan lolos ke Piala Dunia 2006, disusul Turki (23 poin) yang lolos ke babak play-off.
Kala itu, Ukraina diasuh Oleg Blokhin (legenda Timnas Uni Soviet) dan dibintangi Andriy Shevchenko. Sementara itu, Timnas Turki ditangani Fatih Terim.
Di akhir babak kualifikasi, Yunani sebenarnya mampu mendapatkan 21 poin, tapi performa konsisten tim lain membuat mereka gagal lolos ke Jerman. Tim asuhan Otto Rehhagel (Jerman) ini finis di posisi keempat, kalah satu poin dari Denmark di posisi ketiga.
Kegagalan Yunani lolos ke Jerman, menjadi akhir muram dongeng mereka di Eropa. Tapi, setelahnya, mereka rajin tampil di turnamen mayor antara tahun 2008-2014, sebelum akhirnya kembali menurun.
Kisah Cekoslovakia, Denmark dan Yunani, yang kini juga dialami Italia mungkin terdengar ironis. Mereka sama-sama jatuh ke titik terendah, segera setelah mencapai puncak kejayaan bak cerita dongeng.
Tapi, ini membuktikan, tim yang menjadi juara tidak boleh sampai lupa diri, karena setelah turun dari podium juara, mereka kembali sama dengan tim lain, dan segera setelah turnamen selesai, kebanyakan tim sudah pasti akan berbenah . Sekali lupa diri, habislah sudah.