Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Atta Halilintar, dari AHHA PS Pati FC ke Bekasi FC

23 Maret 2022   08:47 Diperbarui: 23 Maret 2022   08:55 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setahun terakhir, kehadiran selebritas Indonesia di kepengurusan klub sepak bola Indonesia mulai menjadi tren. Mereka hadir di berbagai level, mulai dari Liga 1 sampai Liga 3

Di kasta tertinggi, ada Kaesang Pangarep di Persis Solo, dan Raffi Ahmad di RANS Cilegon FC. Keduanya sama-sama sukses promosi ke Liga 1 musim depan, dengan modal dana besar dan tim bertabur bintang.

Mereka menyusul jejak Gading Marthen yang sudah terlibat aktif di Liga 1 bersama Persik Kediri, bekerja sama dengan keluarga Arthur Irawan.

Tapi, di balik cerita sukses, ada juga cerita kurang sukses, yang justru lekat dengan sorotan, karena serba tidak biasa.

Cerita ini ditampilkan Atta Halilintar, yang menjadi bos AHHA PS Pati FC bersama Putra Siregar. Pada prosesnya, mereka mengambil alih kepemilikan klub PSG Pati, klub kontestan Liga 2.

Awalnya, mereka menjadi sorotan, dan disebut-sebut berpeluang promosi, setelah sempat merekrut pemain berlabel Timnas Indonesia seperti Nurhidayat, Zulham Zamrun, Sutan Zico, dan Yudha Febrian.

Selain karena berlabel Timnas Indonesia, para pemain ini, khususnya Zulham Zamrun, Yudha Febrian, dan Nurhidayat, juga banyak disorot karena punya catatan indisipliner di masa lalu.

Hasilnya, alih-alih moncer, klub berlogo kuda jingkrak ini justru lebih banyak disorot, bahkan oleh media olahraga internasional sekelas Marca (Spanyol) yang dikenal berafiliasi dengan Real Madrid, karena kerap menampilkan gaya main keras menjurus kasar.

Dari segi performa, jangankan promosi, mereka bahkan nyaris terdegradasi ke Liga 3.

Belakangan, klub ini kembali berganti nama menjadi Bekasi FC, karena pindah markas ke kota Bekasi, menyusul promosi Persipa Pati ke Liga 2. Perpindahan markas ini telah disetujui oleh pemerintah daerah setempat.

Meski begitu, klub yang juga berlogo kuda hitam ini tetap jadi sorotan, karena mereka kembali berganti nama, disaat nama sebelumnya saja masih belum disahkan PSSI.

Dari segi bisnis, keputusan untuk pindah ke kota Bekasi sebenarnya cukup bisa dimengerti. Toh, selain menjadi entitas olahraga, klub sepak bola di era modern adalah satu entitas bisnis juga.

Ada banyak faktor pendukung yang perlu diperhatikan, untuk bisa meraih profit. Salah satunya faktor lokasi, semakin strategis semakin bagus.

Dengan posisi sebagai salah satu daerah penyangga kota Jakarta dan kota industri, tentu tidak sulit menarik sponsor dan eksposur media untuk datang. Apalagi, sang bos adalah YouTuber kondang di Indonesia.

Masalahnya, jika tak ada kontinuitas di sini, bukan kejutan kalau Bekasi FC akan kembali ganti nama, karena kembali pindah markas. Alhasil, mereka hanya akan jadi klub musafir.

Padahal, kontinuitas menjadi elemen penting dalam sebuah klub profesional. Ini berkaitan dengan image klub sebagai sebuah merek, dan aspek keolahragaan, termasuk pembinaan pemain muda.

Jika klub itu ternyata nomaden, sponsor mungkin akan ragu-ragu. Akademi klub? Kalaupun ada, sudah pasti itu hanya aksesoris pelengkap, untuk keperluan lolos berkas verifikasi PSSI.

Lebih jauh, jika tak ada rencana jangka panjang, tidak ada identitas spesifik yang melekat di klub. Kalaupun ada, identitas itu hanya "klub musafir" atau "klubnya Atta Halilintar".

Prestasi?

Mungkin ada, tapi hanya sekelebat. Setelahnya, bisa saja tenggelam. Selebihnya, meragukan.

Fenomena klub pindah markas dan ganti nama di Indonesia memang sudah biasa terjadi. Apalagi, PSSI terkesan masih cuek pada masalah satu ini.

Masalahnya, kalau ini terus dibiarkan, aspek kontinuitas di sepak bola nasional bisa rusak, karena pembinaan pemain muda hanya jadi tempelan. Timnas pun pada akhirnya semakin sulit beregenerasi, karena tidak punya pemain muda, apalagi menghasilkan pemain muda berkualitas.

Maka, PSSI dan pihak terkait perlu lebih serius mengontrol perpindahan markas klub, dengan menerapkan regulasi khusus. Dengan demikian, tidak ada lagi klub yang ganti nama dan pindah kota tiap tahun semaunya, kecuali klub itu memang bukan klub profesional.

Bisa, PSSI?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun