Dia adalah kawan sehari-hari banyak orang. Bukan seperti Olive Oil yang sudah jadi milik mutlak Popeye, pelaut kekar pemakan bayam kalengan.
Dia ada di mana-mana, di rumah, di warteg, di warung tenda, warung gerobak, restoran, sampai warung "amigos" alias "agak minggir got sedikit".
Dialah satu-satunya gorengan yang selalu digoreng di penggorengan, tapi tidak pernah matang.
Tanpanya rasa asin tak akan jadi gurih, dan tekstur renyah hanyalah dongeng.
Kalau kata lirik lagu "Risalah Hati",
Hidupku tanpa cintamu
Bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu
Bagai panas tanpa hujan
Jiwaku berbisik lirih
Ku harus milikimu
Itulah minyak goreng. Teman sehari-hari rakyat di satu negeri penghasil kelapa sawit terbesar dunia.
Sayang, suatu hari, saat semua orang membutuhkannya, dia menghilang seperti Avatar. Semua toko berubah jadi medan perang, karena emak-emak yang tak terkalahkan sudah turun tangan.
Dari supermarket sampai toko kelontong, dari yang asli sampai oplosan, semua diserbu tanpa ampun, sampai habis tak bersisa. Persetan dengan merek dan kualitas, yang penting itu minyak goreng.
Sebuah kekuatan yang menyeramkan, sampai membuat pemerintah kebingungan harus berbuat apa. Maklum, kalau sudah turun tangan, emak-emak tidak pernah salah. Polisi memberi surat burung ketilang saja berani didebat, apalagi cuma penjual minyak goreng.
Tapi, secara aneh bin ajaib, segera setelah harga minyak goreng dinaikkan sampai hampir dua kali lipat, minyak goreng tiba-tiba tersedia melimpah ruah di semua toko.