Bicara soal Ligue 1 Prancis, satu hal yang sedekade terakhir menjadi warna khas adalah dominasi Paris Saint Germain. Dalam periode ini, mereka sukses memborong 7 dari 10 titel juara Ligue 1, 6 dari 10 titel Piala Prancis dan Piala Liga Prancis, dan 8 dari 10 Piala Super Prancis.
Dominasi mereka di dalam negeri tampak sulit dibendung, karena selalu punya tim bertabur bintang. Mulai dari era Zlatan Ibrahimovic, David Beckham, Neymar, Kylian Mbappe, sampai Lionel Messi, semua datang silih berganti, berkat dukungan dana wah dari Qatar Sports Investment pimpinan Nasser Al Khelaifi.
Kekuatan finansial Les Parisiens juga membuat tim-tim lain di Ligue 1 kesulitan mengejar. Hanya Monaco (2016-2017) dan Lille OSC (2020-2021) yang mampu memutus rantai dominasi mereka di liga, berkat kehebatan Luis Campos, direktur teknik handal yang kini bergabung dengan Real Madrid.
Satu lagi kejutan kala itu muncul, dari keajaiban Montpellier HSC, yang dimotori trio Remy Cabella, Olivier Giroud dan Younes Belhanda. Mirip seperti kisah Leicester City di Inggris.
Disebut demikian, karena tim asuhan Rene Girard mampu meraih trofi dengan komposisi pemain relatif seadanya, di musim 2011-2012, tahun saat PSG mulai hadir sebagai klub kaya baru di Eropa.
Melihat kedigdayaan PSG di Prancis, mungkin banyak yang merasa cukup puas. Maklum, klub ibukota ini bisa dibilang rutin meraih trofi tiap musimnya. Dalam keadaan paling buruk pun, minimal ada satu trofi yang bisa diraih.
Tapi, standar manajemen klub dan suporter mereka ternyata tak serendah itu. Setiap tahunnya, target juara di Eropa selalu dicanangkan, bersama datangnya pemain bintang dan pelatih jempolan seperti Carlo Ancelotti (Italia) Thomas Tuchel (Jerman) dan terkini Mauricio Pochettino (Argentina).
Tapi, hasilnya tetap nihil. Hanya sekali mereka lolos ke final dan semifinal. Celakanya, progres mereka terlihat stagnan, karena cukup sering bongkar pasang pemain dan pelatih.
Ini menghasilkan ketidakstabilan, yang membuat rival abadi Olympique Marseille agak sulit berkembang di tingkat Eropa.
Praktis, sejak era Qatar dimulai, hanya Ancelotti saja yang tidak hengkang karena dipecat. Kala itu, Don Carlo pergi setelah menerima pinangan Real Madrid dan langsung meraih trofi Liga Champions musim 2013/2014, di tahun pertamanya bersama klub raksasa Spanyol.
PSG juga sering bernasib apes di Eropa, karena kerap tumbang akibat kena comeback. Sebelum ditendang Real Madrid baru-baru ini, mereka sempat jadi korban "remontada" Barcelona (2017) dan Chelsea (2014).
Di fase grup, Marquinhos dkk memang perkasa, tapi di fase gugur lain cerita. Ini masih menjadi masalah, karena sang bos kurang fokus dalam membangun tim dari dalam.
Dalam hal membangun tim, Al Khelaifi terlihat masih fokus pada "mengoleksi pemain bintang", layaknya bermain di game. Untuk urusan ini, Leonardo Araujo selaku direktur teknik klub memang bisa membantu, karena terbukti handal dalam bernegosiasi.
Masalahnya, punya banyak pemain bintang dalam satu tim pasti memusingkan buat pelatih, karena ia akan kesulitan memadukan ego pemain bintang menjadi satu kesatuan.
Di PSG sendiri, masalah ini sempat mengemuka, antara lain saat Neymar kedapatan berebut tendangan penalti dengan Edinson Cavani.
Inilah satu masalah lain, yang akhirnya membuat PSG masih saja gagal di Eropa. Tim ini kuat tapi tidak solid, karena belum ada gambaran spesifik dalam hal rancangan taktik, gaya bermain, atau rencana jangka panjang.
Padahal, klub raksasa Ligue 1 ini juga dikenal punya akademi cukup bagus di Negeri Anggur, dengan Nicolas Anelka (eks pemain Arsenal, Chelsea dan Real Madrid) sebagai salah satu alumnus terkenal.
Dari sisi pencarian bakat, tim ini juga cukup mumpuni dalam menemukan atau mengorbitkan pemain muda berbakat, dengan Ronaldinho sebagai contoh paling populer. Seperti diketahui, PSG adalah klub tempat legenda Brasil ini bermain, sebelum menjadi bintang dan mentor Lionel Messi di Barcelona,
Memang, belakangan masih ada produk akademi yang potensial, tapi tidak banyak yang benar-benar menjadi pemain reguler, kecuali Presnel Kimpembe.
Selebihnya, mereka lebih sering jadi cadangan atau memilih hengkang ke klub lain, seperti pada kasus Kingsley Coman, (Bayern Munich) yang ironisnya menjebol gawang PSG, saat mereka takluk di final Liga Champions musim 2019/2020.
Ini berbeda dengan Manchester City atau Chelsea, yang masing-masing sudah punya rencana jangka panjang, dengan memadukan pemain muda dan pemain jadi, lengkap dengan pendekatan masing-masing, termasuk dukungan kuat di balik layar.
Hasilnya, mereka bisa terus berkembang, dan mampu menaikkan level. Di saat progres PSG masih stagnan di Eropa, City mulai bisa membangun konsistensi, dan Chelsea sudah meraih aneka trofi, berkat dukungan jajaran direksi yang kompeten. Inilah satu alasan, mengapa Mbappe enggan memperpanjang kontrak di Parc Des Princes.
Berangkat dari situ, wajar jika ultras PSG mulai gerah. Saat menang 3-0 atas Bordeaux, Minggu (13/3) lalu mereka kompak menyoraki Lionel Messi dan Neymar.
Bukan cuma itu, desakan agar Al Khelaifi mundur sebagai presiden klub juga mulai muncul, karena PSG masih terlihat ompong di Eropa, sekalipun sudah bertabur bintang.
Desakan ini muncul, karena mereka menghendaki adanya pembaruan dan perbaikan dari dalam. Situasi ini jelas menunjukkan, klub sedang berada di titik jenuh. Mungkin, situasi ini tergolong aneh untuk ukuran klub dengan pemilik yang kaya raya seperti PSG.
Tapi, ini menunjukkan, sekaya apapun pemiliknya, sebuah klub akan berada di titik jenuh, jika hanya berfokus pada rekrutmen pemain bintang. Sehebat apapun pemain bintang, masa edarnya di level tertinggi hanya sebentar. Apalagi, jika dia banyak tingkah di luar lapangan.
Jika dibiarkan saja, titik jenuh ini akan jadi awal kejatuhan, karena tidak ada sistem pendukung yang ikut dibangun, dan tidak ada arah yang jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H