Dalam beberapa pekan terakhir, banyak muncul berita soal wacana transisi dari pandemi ke endemik. Wacana ini menjadi rencana pemerintah, untuk mempersiapkan ke masa pemulihan setelah masa pandemi.
Hanya saja, progres wacana ini sempat maju-mundur, karena angka vaksinasi dua dosis belum mencapai standar minimal untuk menciptakan kekebalan kolektif, dan angka kasus baru yang tinggi di periode tertentu.
Wacana ini lalu menunjukkan progres positif, dengan dibebaskannya warga yang sudah vaksin dua dosis, untuk melakukan perjalanan di dalam negeri, tanpa harus repot-repot melakukan tes antigen dan PCR dengan ongkos cukup mahal.
Ini menjadi progres berikutnya, setelah pemendekan masa karantina bagi pelaku perjalanan dari luar negeri.
Tentunya, semua langkah radikal ini mendatangkan secercah harapan. Ada optimisme, situasi akan membaik dalam waktu dekat.
Tapi, masih terselip satu kekhawatiran, karena keputusan pemerintah kali ini terkesan sepihak, karena kurang memperhatikan situasi di lapangan, dan terkesan terburu-buru. Satu warna khas kebijakan pemerintah di masa pandemi.
Memang, Indonesia perlu untuk segera memulihkan kondisi, termasuk dengan melakukan pengkondisian dan adaptasi menuju endemik dan pulih total.
Sayang, pemerintah mengabaikan satu fakta, bahwa penggantian kondisi dari "pandemi" ke "endemik" dan lain-lain hanya bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan internasional, dalam hal ini WHO.
Kebetulan, saat virus Corona mulai merebak dua tahun silam, WHO-lah yang memutuskan wabah ini sebagai pandemi, dan disepakati secara internasional. Ini memang mekanisme standar yang berlaku umum dan sudah menjadi konsensus bersama.
Maka, jika melihat situasinya, seharusnya tidak boleh ada keputusan sepihak yang dikeluarkan secara sembrono, karena bisa berpengaruh pada banyak orang.