Dalam beberapa pekan terakhir, nama-nama pemain keturunan Indonesia yang akan dan bersedia dinaturalisasi terus muncul di media.
Mereka adalah Jordi Amat (bek, Spanyol), Sandy Walsh (bek, Belgia), Shayne Pattynama (bek, Belanda) dan Jordy Wehrmann (gelandang, Belanda).
Dari segi kualitas, mereka disebut-sebut sesuai dengan kebutuhan tim dan kriteria pelatih Shin Tae-yong, antara lain bermain reguler di klub kontestan liga Eropa, dengan pemain klub kontestan kompetisi kasta tertinggi sebagai nilai plus.
Dari keempatnya, mereka memang sedang bermain di klub kontestan kompetisi kasta tertinggi, dan kebetulan berada pada usia ideal.
Jordi Amat bermain di KS Eupen, Sandy Walsh bermain di KV Mechelen, klub kasta tertinggi liga Belgia. Jordi Wehrmann bermain di FC Luzern, klub kasta tertinggi liga Swiss, dan Shayne Pattynama bermain di Viking FK, klub kasta tertinggi liga Norwegia.
Dari keempatnya, nama Jordi Amat punya profil paling mentereng, karena pernah menghadapi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo saat bermain di La Liga bersama Espanyol, dan mencicipi kerasnya kompetisi Liga Inggris.
Profil keempatnya, dan rekam jejak Jordi Amat, yang pernah bermain di liga "top 5" Eropa, telah membuat PSSI coba bergerak lebih jauh. Dengan harapan, ada pemain ada yang bersedia dinaturalisasi.
Sebagai informasi, liga "top 5" Eropa (berdasarkan koefisien peringkat UEFA) saat ini adalah Liga Inggris, La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, Ligue 1 Prancis, dan Liga Italia. Jadi, wajar jika penelusuran terkait pemain keturunan Indonesia mulai ikut diarahkan ke sana.
Untuk saat ini, PSSI memang sedang mendekati Emil Audero Mulyadi, kiper andalan Sampdoria keturunan Indonesia. Profilnya memang menarik, karena merupakan jebolan akademi Juventus dan Timnas Italia junior.
Ini memang bisa menjadi sebentuk optimisme, tapi ketatnya aturan kuota pemain asing non-Uni Eropa juga perlu diperhatikan, karena aturan tersebut diterapkan secara ketat di lima liga ini.
Dengan posisi Indonesia sebagai negara non-Uni Eropa, yang tidak mengenal dwikewarganegaraan, ini akan jadi satu alasan kuat buat kandidat pemain keturunan untuk menolak kesempatan bermain di Timnas Indonesia.
Berangkat dari masalah ini, seharusnya PSSI dan Shin Tae-yong perlu lebih adaptif dalam hal kriteria standar kualitas pemain keturunan.
Dalam artian, standar kualitasnya di atas rata-rata pemain lokal, tapi tidak harus dari liga top Eropa, khususnya liga dengan kebijakan pemain asing non-Uni Eropa ketat.
Dengan begitu, si pemain masih bisa bermain di Eropa dan bisa membawa manfaat teknis positif buat Tim Garuda.
Untuk soal lain yakni usia, sudah ada kemajuan, karena rentang usia pemain yang sudah didekati relatif muda, maksimal 25 tahun. Kecuali pada kasus Jordi Amat, yang pada tahun ini berusia 30 tahun.
Tapi, satu hal yang perlu dipastikan adalah, setelah dinaturalisasi, si pemain harus dijamin, untuk tidak langsung bermain di liga Indonesia dalam waktu dekat, kecuali jika liga Indonesia sudah mengalami peningkatan kualitas secara drastis.
Ini menjadi satu poin krusial, karena dalam banyak kasus, pemain naturalisasi, yang sudah lama tinggal dan bermain di Indonesia tidak banyak yang bisa mempertahankan level kualitasnya, sama seperti saat pertama kali datang.
Akibatnya, kualitas si pemain lama-lama menurun, seperti jadi bonsai, karena terbiasa menjadi pohon besar di pot kecil. Kalau sudah begini, upaya naturalisasi jadi percuma, karena pengaruhnya justru tidak sesuai harapan.
Buat apa dinaturalisasi, kalau kualitasnya justru dibuat menurun? Benar-benar kurang kerjaan.
Kepastian ini menjadi kunci, terutama jika kebijakan naturalisasi pemain keturunan ini masih akan dilanjutkan, karena bisa menjadi nilai plus di mata para pemain keturunan Indonesia.
Terlepas dari adanya pertimbangan personal dari si pemain, kepastian untuk bisa tetap bermain di kompetisi berkualitas tetap tak boleh dikesampingkan.
Ini bisa menjadi satu pertimbangan khusus di masa depan. Jika track record kelanjutan kiprah pemain keturunan Indonesia (setelah dinaturalisasi) justru jadi jelek, jangan kaget kalau di masa depan, pemain keturunan Indonesia di kompetisi kasta tertinggi liga Eropa akan menolak tanpa basa-basi. Khususnya, jika mereka masih berusia muda.
Bisa membela tim nasional memang merupakan satu impian puncak seorang pesepakbola. Masalahnya, kesempatan untuk bermain dan berkembang di level tinggi tidak selalu datang setiap saat.
Faktor garis keturunan memang bisa menentukan di tim nasional mana seseorang bermain, tapi dimensi sepak bola tidak sesempit itu. Ia adalah ruang bebas, yang memberi kesempatan untuk siapa saja berkembang sebaik mungkin, apapun garis keturunannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H