Dalam menulis, setiap orang pasti punya fase naik-turun dan masalahnya masing-masing. Saya sendiri sempat mengalami naik-turun, khususnya selama aktif di Kompasiana, sejak Desember 2016 silam.
Selama kurang lebih lima tahun di K, situasinya penuh kejutan. Pada awalnya, secara tak diduga, saya langsung mengawali dengan fase "naik" di dua tahun pertama (2017-2018).
Sebagai anak baru yang hanya bekerja serabutan, ada dua "hadiah" yang menurut saya sangat spesial, yakni status centang biru di tahun pertama, dan masuk daftar Kompasianer terpopuler di Kompasianival tahun kedua.
Bagi saya yang sebelumnya tidak pernah ikut kelas menulis sama sekali, ini adalah satu lompatan besar. Tanpa berbuat aneh-aneh, kejutan datang dengan sendirinya.
Awalnya, saya mengira, ini akan jadi satu lompatan berikutnya, yang jika meminjam istilah dalam manajemen perubahan biasa disebut "lompatan ke kurva kedua". Maklum, semuanya terasa begitu cepat, sampai saya sendiri kadang merasa "tumbuh cukup cepat" di rumah biru ini.
Tapi, apa yang terjadi di dua tahun berikutnya (2019-2020) adalah penurunan. Penyebabnya, selama periode itu saya cukup sibuk bekerja dan hidup sendirian sebagai seorang anak kost di Jakarta.
Selain bekerja sehari-hari, kadang ada rentetan kegiatan lain yang cukup membuat sibuk, ditambah situasi rumit di awal masa pandemi. Alhasil, intensitas menulis saya menurun cukup banyak. Dari yang tadinya 1-2 artikel sehari, menjadi 3-4 artikel seminggu.
Meski begitu, menulis tetap tidak saya tinggalkan, karena menjadi satu sarana "healing" paling hemat. Tak perlu pusing bermacet-macetan di jalan atau terbang ke luar negeri, rasa penat bisa hilang, hanya dengan menulis.
Bonusnya, saya bisa ikut event offline Kompasiana, dan berkenalan dengan beberapa Kompasianer, yang selama ini biasa berjumpa di media sosial.
Setelah dua tahun yang cukup repot, akhirnya saya tiba di tahun kelima (2021) yang menjadi fase transisi. Di sini, ada proses membangun ulang "kemunduran" selama dua tahun sebelumnya. Pelan tapi pasti, intensitas menulis saya pelan-pelan naik, bersama partisipasi dalam beragam kegiatan bersama komunitas di rumah biru ini.
Ketika tahun berganti, saya juga menemukan lagi sentuhan yang sempat hilang akibat dulu terlalu sibuk. Ada rasa nyaman, karena masih bisa menulis, dengan frekuensi lebih konsisten.
Sehari satu, jika terlewatkan bisa membuat dua. Topiknya pun bebas, sekenanya sesukanya, senyamannya.
Soal bagus atau tidaknya, itu terserah admin atau pembaca. Saya tidak berhak menilai, apakah tulisan saya bagus atau tidak. Bagi saya, sebuah tulisan layak disebut bagus, jika orang lain (selain si penulis) yang menganggapnya demikian.
Sebagai penulis, saya hanya menayangkan tulisan yang menurut saya pantas ditayangkan. Bisa menulis tanpa kena masalah saja sudah menyenangkan, apalagi kalau responnya positif.
Di sini, ada satu hal yang membuat saya sedikit terkejut, yakni kadang muncul nyali untuk menulis artikel dengan topik yang agak berat, tapi relevan dengan situasi terkini.
Sebenarnya ada banyak artikel sejenis di waktu hampir bersamaan, tapi adanya ruang bebas untuk menyuarakan pendapat sendiri menjadi pembeda, karena dari sinilah perspektif hadir dan memberi warna khas.
Jadi, bukan kecepatan yang diutamakan, tapi keberagaman dan kekhasan perspektif lah yang dihadirkan. Inilah satu bagian paling menyenangkan dari menulis (menurut saya).
Tanpa kebebasan ini, menulis jadi hambar, dan akan sia-sia, karena tak ada keinginan untuk berkembang. Tulisan dengan sudut pandang sama persis dengan yang lain, justru akan buruk jika dibiasakan.
Tapi, untuk topik yang mungkin agak berat atau menyerempet hal sensitif, saya belum lama ini mendapat dua  pengalaman berbeda, akibat keisengan saya.
Pertama, ada tulisan saya yang sempat dikarantina selama beberapa menit (sebelum diterbitkan), karena membahas tokoh pemilik klub sepak bola yang pernah atau sedang tersangkut imbas gejolak politik suatu negara. Kebetulan, salah satu gejolak politik yang dibahas memang sedang terjadi.
Mungkin ini agak usil, tapi ketika perkembangannya benar-benar mengarah ke sana, dan menghadirkan tulisan-tulisan berdasarkan berita itu, apa yang saya tampilkan tetap bisa memberikan warna tersendiri, karena beda perspektif.
Kedua, saya berani menulis dan menganalisis satu topik panas di dalam negeri, dan mengkorelasikan itu dengan pengalaman di masa lalu, plus tambahan perspektif dari ilmu di bangku kuliah dan paparan podcast dari beberapa pakar.
Saya sengaja menggali sebelum menulisnya, supaya saya bisa lebih memahami apa yang sedang terjadi, dan memastikan apakah sudut pandang saya cukup relevan, sehingga saat ditulis nanti, tulisan itu punya isi, dan isinya bisa dipahami pembaca.
Makanya, ketika saya menulis dan bisa menyelesaikannya, saya cukup lega, karena di situ saya tak asal meluapkan unek-unek yang tersimpan selama bertahun-tahun.
Sebenarnya, saya sudah cukup puas dengan itu, karena sudah menyampaikan pandangan saya dan berpendapat sampai tuntas. Tapi, saya sekali lagi bertindak iseng, dengan membagikan link tulisan itu kepada salah satu pakar sekaligus pemerhati, yang saya dengarkan paparannya sebagai referensi.
Tak disangka, sang pakar tersebut mengapresiasi, dan membagikan link tulisan saya di Instagram story nya, Selasa, (22/2) silam seperti pada foto di bawah ini.
Alhasil, hanya dalam sehari, angka klik di artikel itu naik cukup banyak. Dari yang awalnya berkisar di angka 200-an, naik menjadi 700-800-an. Jumlah ini sendiri masuk akal, karena followers Instagram sang pakar berada di kisaran 100 ribu akun.
Bagi saya, ini adalah iseng-iseng berhadiah, karena ternyata sampai bisa diapresiasi seperti itu. Di sisi lain, saya mendapati, Kompasiana ternyata masih punya posisi cukup baik, karena seorang pakar pun terbukti tak meragukannya.
Ini memang menyenangkan, tapi saya tidak akan sering melakukannya, Â karena ada resiko yang bisa saja mengintai. Tanpa bermaksud skeptis, di negeri tercinta ini, sebuah pendapat yang berdasar kuat pun kadang bisa kalah oleh asumsi kosong yang masif dibunyikan.
Satu lagi, momen saat tulisan kita diapresiasi dan dibagikan oleh seorang pakar adalah momen langka. Jadi, bisa mendapatkannya adalah satu keberuntungan, khususnya bagi seorang amatir seperti saya.
Soal jumlah klik, saya memilih santai, karena setiap tulisan punya nasibnya sendiri. Akan lebih berbahaya kalau kuantitas klik dan target jumlah artikel lebih dikejar, ketimbang rasa nyaman dalam mengutarakan pendapat sendiri.
Seorang penulis (walau amatir sekalipun) tetap punya tanggung jawab kepada pembaca, untuk bisa memberi tulisan yang pesannya bisa dipahami pembaca, syukur-syukur bisa bermanfaat. Selebihnya, tinggal bagaimana si penulis itu tetap jadi dirinya sendiri dan terus berkembang.
Pada akhirnya, menulis sendiri adalah sebuah perjalanan panjang, lengkap dengan berbagai dinamikanya, termasuk siklus naik-turun.
Ada fase "menemukan diri", "mengenali apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan", dan berbagai fase lain. Setiap orang tentu punya waktu atau sedang berada pada fase masing-masing, tapi semua itu tidak bisa dibandingkan begitu saja, karena setiap fase ada untuk dijalani sampai akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H