Kedua, saya berani menulis dan menganalisis satu topik panas di dalam negeri, dan mengkorelasikan itu dengan pengalaman di masa lalu, plus tambahan perspektif dari ilmu di bangku kuliah dan paparan podcast dari beberapa pakar.
Saya sengaja menggali sebelum menulisnya, supaya saya bisa lebih memahami apa yang sedang terjadi, dan memastikan apakah sudut pandang saya cukup relevan, sehingga saat ditulis nanti, tulisan itu punya isi, dan isinya bisa dipahami pembaca.
Makanya, ketika saya menulis dan bisa menyelesaikannya, saya cukup lega, karena di situ saya tak asal meluapkan unek-unek yang tersimpan selama bertahun-tahun.
Sebenarnya, saya sudah cukup puas dengan itu, karena sudah menyampaikan pandangan saya dan berpendapat sampai tuntas. Tapi, saya sekali lagi bertindak iseng, dengan membagikan link tulisan itu kepada salah satu pakar sekaligus pemerhati, yang saya dengarkan paparannya sebagai referensi.
Tak disangka, sang pakar tersebut mengapresiasi, dan membagikan link tulisan saya di Instagram story nya, Selasa, (22/2) silam seperti pada foto di bawah ini.
Alhasil, hanya dalam sehari, angka klik di artikel itu naik cukup banyak. Dari yang awalnya berkisar di angka 200-an, naik menjadi 700-800-an. Jumlah ini sendiri masuk akal, karena followers Instagram sang pakar berada di kisaran 100 ribu akun.
Bagi saya, ini adalah iseng-iseng berhadiah, karena ternyata sampai bisa diapresiasi seperti itu. Di sisi lain, saya mendapati, Kompasiana ternyata masih punya posisi cukup baik, karena seorang pakar pun terbukti tak meragukannya.
Ini memang menyenangkan, tapi saya tidak akan sering melakukannya, Â karena ada resiko yang bisa saja mengintai. Tanpa bermaksud skeptis, di negeri tercinta ini, sebuah pendapat yang berdasar kuat pun kadang bisa kalah oleh asumsi kosong yang masif dibunyikan.
Satu lagi, momen saat tulisan kita diapresiasi dan dibagikan oleh seorang pakar adalah momen langka. Jadi, bisa mendapatkannya adalah satu keberuntungan, khususnya bagi seorang amatir seperti saya.
Soal jumlah klik, saya memilih santai, karena setiap tulisan punya nasibnya sendiri. Akan lebih berbahaya kalau kuantitas klik dan target jumlah artikel lebih dikejar, ketimbang rasa nyaman dalam mengutarakan pendapat sendiri.
Seorang penulis (walau amatir sekalipun) tetap punya tanggung jawab kepada pembaca, untuk bisa memberi tulisan yang pesannya bisa dipahami pembaca, syukur-syukur bisa bermanfaat. Selebihnya, tinggal bagaimana si penulis itu tetap jadi dirinya sendiri dan terus berkembang.