Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ingat Roman Abramovich, Ingat Thaksin Shinawatra

26 Februari 2022   14:39 Diperbarui: 26 Februari 2022   14:39 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyusul aksi militer Rusia di Ukraina beberapa hari terakhir, banyak efek berantai yang muncul di berbagai bidang, termasuk di olahraga sepak bola. 

Ada klub yang membatalkan kerjasama sponsor dengan perusahaan asal Rusia, dan keputusan UEFA memindah arena final Liga Champions, dari yang sebelumnya di Saint Petersburg (Rusia) ke Paris (Prancis).

Tentunya, keputusan-keputusan ini datang dari rasa solidaritas pada krisis kemanusiaan di Ukraina, dan pertimbangan lain, termasuk keamanan.

Tapi, jika melihat ke subjek spesifik, maka Chelsea adalah satu klub yang bisa jadi akan sangat terdampak. Seperti diketahui, klub asal kota London ini dimiliki oleh Roman Abramovich, pebisnis asal Rusia.

Meski sebenarnya sudah memiliki Si Biru sejak tahun 2003, situasi sang juragan minyak di Inggris kurang mengenakkan. Maklum, dirinya dikenal sebagai orang dekat Vladimir Putin (Presiden Rusia).

Otomatis, sejak hubungan Inggris dan Rusia meregang tahun 2018, Abramovich kena getahnya. Pria yang sempat mensponsori klub CSKA Moskow ini tak bisa leluasa bepergian ke Inggris, sekalipun punya visa investor dan paspor Israel, paspor yang konon terkenal "sakti" di negara-negara barat.

Situasi makin runyam, karena pemerintah Inggris berencana membekukan aset milik orang Rusia di sana, termasuk milik Abramovich.

Otomatis, Chelsea bisa kena imbas. Apalagi, bos perusahaan Sibneft ini diketahui sebagai salah satu figur oligarki yang pro pada Vladimir Putin.

Situasi ini sedikit mengingatkan kita pada situasi Manchester City tahun 2008. Kala itu, klub dari kota Manchester baru setahun dibeli oleh Thaksin Shinawatra, pengusaha dan politisi asal Thailand.

Awalnya, semua terlihat cukup baik. Ada nama Sven Goran Eriksson (Swedia) di kursi pelatih, dan Elano (pemain Timnas Brasil) sebagai motor serangan. Thaksin yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand juga memboyong Teerasil Dangda berlatih di kota Manchester.

Sayang, kudeta militer di Thailand menggulingkannya dari kekuasaan. Bukan cuma itu, asetnya dibekukan pemerintah Thailand akibat diduga korupsi, dan ia harus hidup sebagai eksil di Timur Tengah.

Thaksin Shinawatra kala menjadi bos Manchester City (Telegraph.co.uk)
Thaksin Shinawatra kala menjadi bos Manchester City (Telegraph.co.uk)
Situasi ini membuat kondisi keuangan Manchester City langsung limbung. Beruntung, konsorsium milik Sheikh Mansour (Uni Emirat Arab) langsung bergerak membeli The Eastland, sehingga menjadi klub yang kita kenal sekarang.

Meski situasi Abramovich dan Thaksin berbeda, latar belakang masalah politik dan pembekuan aset menjadi benang merah yang menghubungkan keduanya.

Pada kasus Abramovich, kita masih perlu melihat, apakah invasi Rusia ke Ukraina akan berkepanjangan atau tidak. Jika iya, sepertinya kita akan melihat Chelsea berganti pemilik dalam waktu dekat, karena aset dan akses sang pemilik sudah sangat dibatasi di Inggris.

Jika tidak, situasinya akan kembali normal seperti sebelumnya. Ada pembatasan akses masuk, tapi tidak sampai membekukan aset.

Melihat sejarahnya, kemungkinan kemungkinan kedua berpeluang terjadi, karena situasi di Ukraina mirip dengan invasi Rusia ke Georgia, 1-12 Agustus 2008 silam.

Kala itu, Rusia berhasil mencaplok wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan, serta membangun pangkalan militer di sana, setelah mendukung proklamasi kemerdekaan sepihak kedua wilayah itu. Mirip seperti sikap Rusia atas proklamasi kemerdekaan sepihak dari wilayah Donbass dan Luhansk di Ukraina.

Invasi Rusia ke Georgia saat itu memang dikritik banyak negara, tapi situasinya kembali normal, setelah semua berakhir.

Inilah yang kemungkinan akan terjadi juga di Ukraina, kecuali jika aliansi NATO nantinya ikut terlibat.

Jika situasinya tetap rumit, dan Chelsea harus dilepas, sebenarnya klub juara bertahan Liga Champions ini tidak sulit mencari pemilik baru. Maklum, sejak dipegang Abramovich, Chelsea telah menjadi satu klub kuat di Eropa, lengkap dengan aneka prestasi dan akademi berkualitas. Sebuah profil yang sangat mampu menarik investor untuk datang.

Memang, rumor Abramovich akan melepas Chelsea sudah ada sejak tahun 2018, seiring meningkatnya ketegangan politik antara Rusia dan Inggris, tapi, kelanjutan status aksi Rusia di Ukraina sepertinya bisa jadi penentu kelanjutan era "The Roman Empire" di Chelsea.

Inilah titik simpang, yang bisa membuat loyalis Chelsea deg-degan, dan akan membuat pecinta sepak bola merasa penasaran. Andai benar era Roman Abramovich berakhir karena manuver politik Rusia, ini mungkin akan membuat Chelsea berubah drastis.

Kasus Thaksin Shinawatra di Manchester City mungkin bisa menjadi satu titik optimis buat Chelsea, andai Roman Abramovich harus pergi, meski kemungkinan lain juga bisa terjadi, cepat atau lambat.

Pergantian pemilik klub sepak bola karena alasan politik mungkin terdengar aneh. Meski begitu, ini menunjukkan, meski sebenarnya beda alam dan tidak terlihat mesra dari luar, sepak bola dan politik ada kalanya bisa saling berhubungan mesra di balik layar, dengan nuansa "benci tapi rindu" layaknya drama Korea.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun