Sejak tahun 2019, pemerintah, melalui wadah program pariwisata "Wonderful Indonesia" telah menetapkan lima Destinasi Super Prioritas di Indonesia Aja.
Kelima Destinasi Super Prioritas (DSP) itu membentang dari barat ke timur Nusantara. Mereka terdiri dari Danau Toba (Sumatera Utara), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), dan Likupang (Sulawesi Utara).
Diantara kelimanya, Likupang mempunyai potensi wisata yang kebetulan sinkron dengan konsep pariwisata yang dicanangkan pemerintah, yakni "Sustainable Tourism", yang menekankan perhatian pada kelestarian lingkungan dan aspek keberlanjutan.
Disebut demikian, karena Likupang memang punya spot wisata alam yang keindahannya masih asli, dan karenanya layak untuk dilestarikan. Uniknya, spot wisata alam ini terbentang dari bawah laut sampai atas bukit.
Di bawah laut, keindahan spot snorkeling melengkapi keindahan panorama di area wisata pantai, seperti Pantai Paal, Sampiran, Pulisan, dan Surabaya. Keindahan itu semakin lengkap, dengan melimpahnya hasil laut seperti ikan cakalang dan udang.
Naik ke atas bukit, Likupang punya Bukit Pulisan dan Larata, dua bukit savana ini punya padang rumput nan hijau. Sebuah paduan yang unik dan langka, untuk ukuran daerah pantai.
Semua keindahan dan kekayaan alam ini memang membuat Likupang layak ditetapkan sebagai DSP, karena potensinya memang sangat besar. Tapi, ada satu tantangan terbesar di sini, khususnya soal bagaimana menggarap potensi wisata sambil menjaga kelestarian lingkungan.
DSP Likupang di masa depan. Seperti diketahui, ada banyak tempat wisata yang tadinya indah dan asri, justru menjadi rusak karena ulah tangan-tangan usil, ditambah ketidakmampuan dalam menjaga kebersihan.
Saya melihat kedua hal ini perlu seiring sejalan, karena bisa mempengaruhi kelanjutan nasibFenomena ini terjadi di banyak tempat wisata di Indonesia, termasuk di Bali yang sudah mendunia. Jika terus dibiarkan, tempat yang indah ini bisa jadi buruk rupa. Kalau ada abrasi atau masalah lingkungan lainnya, tempat yang rusak ini bisa jadi sasaran empuk.
Kebetulan, seiring munculnya potensi masalah perubahan iklim, pantai dan ekosistem laut menjadi satu area rentan. Sekali ekosistemnya rusak, akan muncul masalah-masalah lanjutan.
Karenanya, pemerintah, dalam hal ini Kemenparekraf, perlu menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup, masyarakat setempat, dan komunitas pecinta alam. Kebetulan, selain punya potensi wisata jelajah alam di area bukit savana, Likupang juga punya potensi wisata kemping pantai di Pulau Lihaga.
Kalau masih kurang, organisasi lingkungan hidup dunia (WWF) juga bisa digandeng. Kebetulan, Likupang pernah disorot dunia karena menjadi tempat penemuan Penyu Hijau di tahun 2007.
Jadi, ada langkah "perawatan' terpadu, untuk menjaga keindahan Likupang, dengan sinergi antara teknologi modern dan kearifan lokal setempat. Kekuatan pendukungnya pun kuat, karena mencakup skala nasional dan internasional.
Jika semua potensi masalah lingkungan bisa dikelola dengan baik, maka akan ada potensi lain selain hasil laut dan bentang alam. Sampah pun akan jadi sangat bermanfaat, karena bisa diolah, misalnya menjadi produk daur ulang.
Dari sinilah, kelestarian lingkungan akan "naik kelas" menjadi satu keberlanjutan, yang dapat terus menghasilkan manfaat positif, baik bagi alam maupun manusianya.
Jalan menuju ke sana memang masih sangat panjang, tapi jika mau terus ditekuni, ini akan menjadi satu jalan, untuk membuat Likupang dikenal dunia. Pada saat itu, mungkin "Likupang, North Sulawesi" bisa berdiri sejajar dengan "Bali" sebagai salah satu nama tempat wisata populer dari Indonesia di mata dunia.
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H