Dalam beberapa hari terakhir, pemberitaan media soal transfer Pratama Arhan ke Tokyo Verdy begitu masif. Efek dominonya pun cukup menarik, karena terlihat masif dan cepat.
Satu efek paling terlihat adalah, jumlah followers akun media sosial Tokyo Verdy yang meroket tajam, setelah diserbu warganet Indonesia.
Dari yang tadinya hanya berjumlah sekitar 30 ribuan followers, jumlahnya telah naik di kisaran 300 ribuan followers, sekaligus menjadikan Tokyo Verdy salah satu klub Jepang terpopuler di media sosial.
Jumlah ini bahkan lebih banyak dari Vissel Kobe, klub papan atas Liga Jepang yang juga langganan tampil di Liga Champions Asia. Dalam konteks kekinian, Kobe jelas beda level dengan Tokyo Verdy, tim yang belakangan masih berkutat di kasta kedua, tepatnya sejak dekade 2000-an.
Efek ini juga cukup bikin geleng-geleng kepala, karena Vissel Kobe saat ini masih diperkuat Andres Iniesta dan Bojan Krkic, dua mantan pemain Barcelona yang sukses meraih beragam trofi di klub Catalan, termasuk trofi Liga Champions, dengan nama yang juga tidak asing di mata publik sepak bola dunia.
Apalagi, Iniesta juga memenangkan Piala Dunia (2010) dan Euro (2008 dan 2012) bersama Timnas Spanyol, dengan dirinya mencetak gol tunggal kemenangan La Furia Roja di final Piala Dunia plus terpilih menjadi Pemain Terbaik Euro 2012.
Dari sini, kita bisa melihat dua sisi dari kedatangan Pratama Arhan ke klub berkostum hijau itu. Pertama, ada harapan besar (dengan sedikit bumbu sikap overproud) kepadanya untuk bisa bermain reguler, bahkan semakin berkembang. Kedua, ada "tekanan" yang muncul dari harapan besar berbalut sikap overproud itu.
Hal pertama tentu menjadi harapan bersama publik sepak bola nasional. Tapi, harapan itu tentu harus diikuti dengan satu kesadaran: si pemain perlu waktu untuk beradaptasi dalam berbagai hal.
Selain itu, perlu dipastikan juga apakah pada masa adaptasi ini si pemain menunjukkan mentalitas dan sikap yang sesuai atau tidak.
Jika ya, rasanya karir Arhan di luar negeri akan awet, dan akan ada pemain Indonesia lain yang datang, karena image positif yang dihadirkannya sukses menarik minat klub Jepang lain untuk meniru langkah Si Hijau.
Logikanya sederhana, selain karena menguntungkan secara bisnis, karena popularitas di sosmed bisa menarik minat sponsor, kemampuan si pemain juga bisa bermanfaat secara teknis. Nilai plus itu juga akan bertambah, jika terbangun image "pemain Indonesia tidak banyak tingkah" di mata klub.
Jika ternyata tidak semulus harapan awal, sebaiknya para warganet yang jadi "fans dadakan" ini perlu memahami dulu situasinya, dan tak segan memberi masukan buat si pemain. Jadi, mereka tidak akan asal "menyerbu" kolom komentar akun klub.
Ini penting, karena tingkah warganet kita bisa menentukan image yang didapat klub di media sosial. Jika imagenya negatif, karena trafik akun media sosial klub didominasi oleh komentar-komentar negatif, sponsor juga akan menjauh.
Klub pun akan enggan merekrut pemain Indonesia, karena warganetnya terlalu mengatur. Padahal, dimainkan atau tidak, keputusan akhir sepenuhnya bergantung pada keputusan pelatih, berdasarkan performa si pemain di sesi latihan, dan seberapa baik kondisi terkininya.
Satu hal yang perlu diingat, Pratama Arhan datang ke Jepang bukan sebagai "pemain titipan", tapi karena memang sudah dipantau langsung klubnya sejak tahun lalu. Kepantasan inilah yang masih harus dibuktikan di lapangan dan sesi latihan, bukan di kolom komentar.
Selain berkaitan dengan warganet kita, satu hal lain yang perlu diperhatikan adalah, apakah federasi sepak bola negara asal (PSSI) terlalu "ribet" atau tidak.
Dalam artian, setiap kali Timnas Indonesia akan bertanding (di turnamen yang tidak masuk kalender FIFA) perlu dilihat apakah PSSI masih akan ribet melobi klub untuk melepas si pemain atau tidak.
Jika ya, ini bisa jadi perseden buruk di masa depan, karena klub bisa saja akan memilih pemain dari negara lain, yang federasinya tidak banyak tingkah.
Kebetulan, liga Jepang juga memberikan slot khusus untuk pemain asal Asia Tenggara. Makanya, Chanatip Songkrasin (Thailand) bisa bermain di kasta tertinggi liga Jepang. Sebelumnya ada juga Theerathon Bunmathan (Thailand) dan Chan Vatanaka (Kamboja) yang sudah mencicipi kompetisi Liga Jepang.
Otomatis, peluang pemain Indonesia merantau di masa depan akan mengecil, karena PSSI terlanjur punya reputasi buruk di mata klub-klub luar negeri.
Maka, di sinilah peran warganet kita yang jumlahnya sangat banyak itu dibutuhkan sebagai alat kontrol. Jadi, ada "rem" jika PSSI masih bertingkah. Di sisi lain, kita juga perlu melihat, apakah ke depannya ini bisa jadi bumerang atau justru bermanfaat secara umum.
Jika jadi bumerang, maka sudah saatnya warganet kita untuk bisa lebih dewasa, supaya sikap overproud bisa ditepikan, seperti halnya mentalitas "pemain titipan", yang selama ini sudah menjadi kebiasaan negatif di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H