Bicara soal kiprah pemain Indonesia di luar negeri, bagian paling menyenangkan darinya adalah saat pemain Indonesia resmi pindah ke luar negeri. Ada begitu banyak pemberitaan media dan respon warganet yang begitu meriah.
Bukan cuma itu, klub yang merekrut si pemain juga ikut ketiban durian runtuh, setidaknya lewat peningkatan jumlah followers signifikan di akun media sosial resmi klub.
Contoh paling gres terjadi di klub Tokyo Verdy (Jepang) yang baru saja mendatangkan Pratama Arhan dari PSIS Semarang secara gratis. Segera setelah transfer diresmikan, jumlah followers di akun Instagram Si Hijau langsung meroket hingga angka ratusan ribu.
Jumlah ini membuat klub berseragam khas warna hijau itu langsung menjadi salah satu klub dengan followers terbanyak (untuk ukuran klub Jepang). Padahal, mereka saat ini bertanding di kompetisi kasta kedua Liga Jepang.
Sebelumnya, ada Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman, yang kedatangannya sama-sama sukses menjadikan Lechia Gdansk (Polandia) dan FK Senica (Slovakia) panen followers di media sosial.
Berkat kedatangan duo jebolan SKO Ragunan ini, kedua klub langsung naik kelas, dengan menjadi salah satu klub dengan followers terbanyak di negara masing-masing. Meskipun, saat di Polandia, Egy dan Witan sama-sama lebih banyak "disekolahkan" di tim U-23 ketimbang bermain di tim utama.
Luar biasa.
Tapi, saat ada pemain yang kiprahnya di luar negeri berakhir muram, dan hanya berlangsung singkat, pemberitaannya begitu sepi. Apalagi, saat si pemain ternyata cukup kesulitan dan tersangkut masalah selama bermain di sana.
Contoh paling baru hadir saat Brylian Aldama diputus kontraknya oleh HNK Rijeka pada bulan Februari 2022. Meski belum diumumkan secara resmi oleh klub kasta tertinggi liga Kroasia, dokumen pemutusan kontrak Brylian telah terdaftar di situs resmi HNS (PSSI-nya Kroasia) sejak 15 Februari silam.
Sebelum diputus kontrak, pemain jebolan Garuda Select ini terakhir dipinjamkan ke NK Pomorac, klub kasta ketiga Liga Kroasia. Hanya saja, masalah cedera selama 3-4 bulan terakhir membatasi kesempatan bermainnya, yang sebenarnya sudah cukup terbatas.
Dengan masa kontrak yang sebenarnya masih berlaku beberapa bulan lagi (jika tidak diputus) dan situasi cederanya, perlakuan klub yang mengorbitkan Andrej Kramaric (penyerang Timnas Kroasia di Piala Dunia 2018) ini mungkin cukup keras.
Maklum, pada saat bersamaan, David Maulana (pemain jebolan Garuda Select lainnya yang dikontrak Rijeka) dipastikan masih lanjut bermain di Pomorac.
Tapi, keputusan juara Liga Kroasia musim 2016/2017 ini sebenarnya logis, karena Brylian sempat mengeluhkan situasinya di Kroasia dalam tayangan podcast kanal YouTube KR TV, yang diupload tanggal 9 Februari 2022 (terlampir di akhir artikel ini).
Dalam acara yang digawangi Roy Ricardo dan ikut dihadiri Bagus Kahfi (Jong Utrecht) secara virtual, Brylian kedapatan mengeluhkan soal minimnya sorotan media dan keinginan pulang ke Indonesia.
Secara personal, keluhan eks pemain Timnas U-16 ini sebenarnya sah-sah saja, karena merupakan pandangan pribadi. Masalahnya, secara profesional ini tidak bisa dibenarkan. Apalagi, ini dinyatakan secara terbuka di media, saat dirinya masih berstatus pemain cadangan.
Jika ini dilakukan oleh pemain bintang, seperti pada kasus Romelu Lukaku (Chelsea) beberapa waktu lalu, sanksinya mungkin relatif ringan. Bisa denda atau peringatan, bukan pemutusan kontrak, karena perannya di tim memang penting, dan penyebab utamanya adalah miskomunikasi dengan pelatih.
Apalagi, Lukaku berstatus pemain termahal klub. Bisa repot urusannya kalau putus kontrak terlalu cepat. Sudah ongkosnya terlalu mahal, citra klub juga bisa rusak.
Tapi, jika perilaku itu dilakukan pemain cadangan, yang bahkan belum pernah bermain di tim utama klub induknya, tentu saja klub akan bertindak keras, karena belum apa-apa sudah berlagak seperti pemain bintang.
Inilah yang bisa berakibat fatal buat si pemain, tapi terlihat konyol dari luar, karena alasannya berkaitan dengan profesionalisme. Sayangnya, masalah-masalah seperti ini kadang tak disorot media kita. Seharusnya, media bisa lebih berimbang di sini.
Padahal, jika perspektif media kita bisa lebih berimbang, ini bisa jadi masukan buat PSSI (selaku pendukung program Garuda Select) dan pihak terkait, supaya bisa mengedukasi pemain seputar bagaimana seharusnya bersikap sebagai seorang pemain profesional.
Poin ini krusial, karena bisa menentukan keputusan klub peminat. Sebesar apapun potensinya, seorang pemain bisa langsung dicoret jika kurang profesional.
Jadi, saat ada kesempatan, mereka tidak hanya numpang berlatih di luar negeri, tapi bisa bermain reguler dan mengembangkan kemampuannya, baik sebagai atlet maupun pribadi.
Tak peduli bagaimanapun situasinya, seorang pesepakbola profesional tulen seharusnya akan lebih fokus pada  urusan di lapangan hijau, bukan banyak sedikitnya sorotan media. Kecuali, jika dia memang mau jadi selebritis, bukan pemain bola.
Meski sifatnya kontras, keseimbangan pemberitaan soal pemain Indonesia di perantauan sudah seharusnya mulai dibiasakan. Supaya, masyarakat dan semua pihak terkait bisa berpandangan objektif, dan punya kesadaran kolektif untuk bergerak secara positif, karena untuk inilah media seharusnya hadir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H