Memang, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan yang membantu masalah ini. Masalahnya, kebijakan ini datang saat setoran iuran BPJS perusahaan sudah macet. Jadi sudah terlambat.
Saya juga mendengar, ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tapi sepertinya belum berjalan dengan baik.
Praktis, sambil bekerja serabutan, satu-satunya yang bisa saya perjuangkan hanya gaji selama 6 bulan (yang sebagian besar berstatus ditahan) dan THR. Selain karena jumlahnya cukup besar buat saya pribadi, ini adalah hak saya.
Jadi, mau tak mau saya menegosiasikan masalah gaji dan THR ini. Syukurlah, masalah ini akhirnya beres, meski tak langsung beres dalam satu kali diskusi.
Soal BPJS Ketenagakerjaan, jujur, saya tidak yakin untuk menariknya, karena situasi "setoran macet" bisa jadi masalah. Saat saya coba menariknya, ternyata tidak bisa, karena belum berusia 56 tahun.
Ironisnya, saat saya menarik sebagian hasil simpanan di reksa dana, tak ada masalah. Padahal, sejak awal masa pandemi, setoran saya praktis macet.
Ini baru satu orang, bagaimana kalau di seluruh Indonesia (ternyata) ada ribuan orang?
Makanya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan "JHT 56 tahun" dalam asumsi keadaan normal, saya merasa ini kurang tepat. Selain karena tidak adaptif terhadap keadaan di masa pandemi, masih ada permasalahan lebih mendasar yang perlu dibereskan.
Ada masalah soal iuran BPJS yang macet atau bahkan tidak ada di perusahaan, besaran gaji dan jam kerja yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan, dan masih banyak lagi.
Jadi, sebelum mengurus regulasi soal jaminan masa pensiun, pemerintah seharusnya sudah memastikan, setiap masalah pekerja dan "kenakalan" perusahaan sudah beres. Jadi, ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Jika fondasinya sudah kuat, baru pemerintah bisa membuat kebijakan soal JHT, lengkap dengan ketentuan pada saat darurat, seperti pada saat ada pandemi seperti sekarang.