Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sebuah Paradoks dari Benua Afrika

8 Februari 2022   03:43 Diperbarui: 8 Februari 2022   03:59 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal tim nasional dari negara-negara Afrika, kebanyakan pecinta sepak bola sering dibuat takjub, karena selalu saja hadir talenta kelas dunia.

Mereka rutin hadir di panggung dunia, dari generasi Roger Milla (Kamerun) di era 1980-1990an sampai Sadio Mane (Senegal) dan Mohamed Salah (Mesir) di era kiwari.

Meski kualitas tata kelola sepak bola di negara-negara Afrika masih jauh dari ideal, keberanian para pemain Afrika untuk keluar dari zona nyaman di dalam negeri justru membuat mereka mampu berkembang menjadi pemain kelas dunia.

Hasilnya, banyak pemain asal Benua Hitam jadi andalan di klub top Eropa. Bukan cuma itu, sejarah mencatat, ada satu pemain Afrika yang sukses meraih trofi Ballon D'Or dan pemain terbaik dunia versi FIFA secara bersamaan, yakni George Weah.

Legenda AC Milan yang sejak tahun 2018 menjadi presiden Liberia ini sukses mengawinkan kedua penghargaan individu tersebut pada tahun 1995.

Dari sini saja, kita bisa melihat, seberapa besar potensi pesepakbola asal Afrika. Tak heran, banyak pihak biasa menjagokan tim nasional dari Afrika bisa membuat kejutan, tiap kali Piala Dunia datang.

Memang, di level junior dan Olimpiade, tim-tim seperti Ghana, Nigeria dan Kamerun mampu membuat kejutan, bahkan mencatat prestasi cemerlang.

Belakangan, daftar itu bertambah dengan munculnya Senegal, yang sempat menembus perempat final Piala Dunia 2002 dan Olimpiade 2012, plus juara Piala Afrika 2021 di tahun 2022.

Sayang, di tingkat senior, ekspektasi itu sering meleset, karena banyak wakil Afrika yang justru melempem di putaran final, bahkan jadi bulan-bulanan.

Salah satu penyebab umumnya adalah, keputusan federasi yang terkesan "panik" saat tim nasional mereka gagal berprestasi di Piala Afrika, sekalipun pada saat bersamaan, mereka sudah lolos ke Piala Dunia dengan performa bagus.

Entah seberapa besar ekspektasi yang ada, tapi pergantian pelatih secara mendadak terbukti membuat situasi jadi kacau, karena terjadi hanya beberapa bulan sebelum Piala Dunia dimulai.

Beberapa contoh terkenal dari kasus ini terjadi pada Timnas Togo (2006), Pantai Gading (2010) dan Nigeria (2002 dan 2010).

Dari segi materi pemain, ketiga tim ini sebenarnya punya potensi menarik. Pada edisi 2002, Nigeria masih diperkuat bintang-bintang juara Olimpiade 1996 macam Kanu dan Jay-Jay Okocha, sementara edisi 2010 menampilkan tim bermaterikan pemain finalis Olimpiade 2008 macam John Obi Mikel dan Vincent Enyeama.

Togo, yang mencatat debut di Piala Dunia 2006 punya Emmanuel Adebayor yang sedang naik daun usai bergabung dengan Arsenal. Pantai Gading di edisi 2010 bahkan terlihat mentereng, karena generasi emas yang dipimpin Didier Drogba sedang dalam puncak performa.

Sayang, akibat keputusan gegabah federasi sepak bola mereka, dan gesekan di dalam tim, ketiga negara ini sama-sama tersingkir di fase grup, meski ditangani pelatih berpengalaman. Togo dilatih Otto Pfister (Jerman), Nigeria edisi 2002 dilatih Festus Onigbinde (pelatih lokal berpengalaman).

Uniknya, di Piala Dunia 2010, Pantai Gading dan Nigeria sama-sama dilatih pelatih berpengalaman asal Swedia. Nigeria dilatih Lars Lagerback (eks pelatih Timnas Swedia) sementara Sven Goran Eriksson (eks pelatih Timnas Inggris) melatih Pantai Gading.
 
Masalah bongkar pasang pelatih di tim-tim nasional benua Afrika memang sudah lama menjadi penyakit, disamping kondisi ruang ganti tim dan federasi yang juga bermasalah. Ini mirip dengan situasi di PSSI, hanya saja, pemain-pemain timnasnya berani bermain di luar negeri.

Ini jadi satu alasan utama, mengapa mengapa tim-tim benua Afrika masih belum bisa menyaingi dominasi wakil Eropa atau Amerika Selatan, walaupun kualitas pemainnya sudah terbukti di level klub.

Andai timnya solid dan bisa melaju jauh, langkah paling jauh mereka masih terhenti di perempat final. Sejarah mencatat, hanya Kamerun (1990), Ghana (2010) dan Senegal (2002) yang pernah mencapainya. Sisanya masih mentok di perdelapan final.

Kalaupun tak ganti pelatih, selama pelatihnya tak mampu mengontrol ruang ganti pemain dengan baik, situasinya juga tak kalah runyam. Kekompakan tim akan jadi kacau, seperti halnya performa di lapangan.

Inilah sebuah paradoks, yang masih menjadi warna khas tim-tim kuat dari benua Afrika. Menariknya, fenomena ini menunjukkan, sehebat apapun pemain dan pelatihnya, selama tim itu tidak kompak dan tata kelola sepak bola nasionalnya masih amburadul, sebuah tim akan sulit berprestasi, karena tak ada sinergi yang baik di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun