Bertambahnya usia, khususnya dalam situasi seperti momen Imlek di keluarga besar merupakan satu paradoks, karena ikut membuat kesenangan di momen Imlek terus berkurang.
Maka, bukan kejutan lagi kalau personel dalam momen kumpul keluarga besar saat Imlek kadang kurang lengkap. Ada yang memang sibuk, ada yang memilih untuk jaga jarak, demi menjaga kesehatan mental.
Karena itu adalah urusan pribadi masing-masing, seharusnya tak ada masalah di sini. Apalagi, di masa pandemi seperti sekarang.
Di sisi lain paradoks yang muncul saat Imlek ini juga bisa menjadi satu indikator, seberapa "sehat" sebuah keluarga, termasuk keluarga besar.
Jika personelnya selalu lengkap, kemungkinan besar rasa hormat masih lebih besar dari pikiran toksik. Jika tidak lengkap, bahkan terus berkurang (meski sebenarnya masih sangat sehat secara fisik) kita perlu waspada, mungkin situasinya sudah tidak sehat, bahkan sudah lama ada gesekan atau intrik di sana, tanpa kita sadari sebelumnya.
Jika kondisinya sehat, berarti Imlek akan jadi satu momen menyenangkan yang pantas ditunggu, karena tak ada hal-hal toksik di sana. Jika tidak sehat, Imlek adalah satu arena pertandingan silat atau catur, dengan bungkus luar yang terlihat bagus, tapi layak untuk dihindari.
Sebagai momen merajut kebersamaan, Imlek seharusnya bisa memperkuat kebersamaan, kecuali jika Imlek hanya menjadi topeng di balik "persaingan terselubung", khususnya di satu keluarga besar.
Selebihnya, tinggal bagaimana kita menyadari dan menyikapinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H