Dalam sepak bola, rivalitas biasa menjadi satu bumbu penyedap dalam pertandingan. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhinya, dan menjadi warna khas di sana.
Ada yang karena latar belakang politik (misal Real Madrid vs Barcelona di Liga Spanyol), kedekatan geografis dan prestasi di masa lalu (misal Liverpool vs Manchester United di Inggris), atau kelas sosial (misal Boca Juniors vs River Plate di Argentina).
Perbedaan di atas mungkin sangat tegas  dan jelas. Tak heran, saat ada pemain bintang yang datang langsung dari klub rival, ada perasaan "tersakiti" bagi suporter tim yang ditinggal pergi, dan keraguan di mata suporter klub yang mendatangkan si pemain.
Dalam hal ini, kasus Luis Figo (Barcelona ke Real Madrid) dan Luis Enrique (Real Madrid ke Barcelona) menjadi contoh paling terkenal. Figo pernah dilempari kepala babi saat bertanding di Stadion Nou Camp, sementara Enrique sempat diragukan, walau akhirnya menjadi pujaan publik Catalan.
Tapi, diantara semua rivalitas yang ada, rivalitas Juventus versus Fiorentina menjadi sebentuk rivalitas yang terasa aneh.
Kok bisa?
Disebut demikian, karena rivalitas ini cukup sengit di lapangan, khususnya pada era "Magnificent Seven" (80-90an) saat Liga Italia masih berjaya. Rivalitas mereka bahkan sempat "naik kelas", kala Juve menjuarai Piala UEFA (Liga Europa) musim 1989/1990, usai mengalahkan Fiorentina di final dengan skor 3-1.
Faktor ini menjadikan suporter kedua tim punya hubungan yang kurang akur. Hubungan ini makin tak akur, karena Si Zebra sering mencomot bintang Viola, yang manajemennya terkesan pasrah tiap kali momen itu datang.
Kalau momen ini jarang terjadi, mungkin situasi panas itu bisa diterima. Masalahnya, semakin ke sini, momen itu semakin sering terjadi.
Alih-alih menjadi satu rivalitas sengit, rivalitas mereka justru terkesan aneh. Disebut demikian, karena di saat tifosi kedua tim saling gontok-gontokan, manajemen kedua tim justru terlihat mesra. Kemesraan mereka bahkan sudah berlangsung sejak lebih dari tiga dekade terakhir.
Dimulai dari Roberto Baggio yang pindah dari kota Firenze ke Juventus di tahun 1990, kisah pencomotan kedua tim justru makin terlihat biasa. Mirip seperti kisah Bayern Munich dan Borussia Dortmund di Bundesliga Jerman.
Meski begitu, rasa getir tetap ada, apalagi setelah Si Nyonya Tua kembali mendominasi Liga Italia, usai terpuruk akibat Calciopoli. Pada saat bersamaan, jangankan bersaing di perebutan Scudetto, lolos ke Liga Europa saja masih kesulitan buat eks klub Gabriel Batistuta ini.
Rasa getir fans Viola makin kuat, karena bintang-bintang yang diboyong itu juga bersinar di kota Turin. Setelah Federico Balzaretti pergi, masih ada Giorgio Chiellini, yang masih awet di lini belakang, ditambah Juan Cuadrado, Federico Bernadeschi dan Federico Chiesa di depan.
Memang, ada juga cerita kurang sukses seperti Felipe Melo dan Neto, tapi catatan bagus alumni Fiorentina membuat Juve tak kapok berbelanja. Kebetulan, mereka biasa datang, saat klub penghuni Stadion Artemio Franchi sedang butuh uang.
Terkini, daftar alumni Fiorentina di Juventus akan bertambah satu lagi, setelah Dusan Vlahovic mencapai kesepakatan untuk pindah ke Allianz Arena.
Dengan statusnya sebagai pemain kunci tim, keputusan eks pemain Partizan Belgrade ini menuai protes keras tifosi. Hal ini sampai membuat pihak berwenang turun tangan mengamankan kediaman sang penyerang.
Dari situasinya, tindakan ini mungkin menjadi satu "ritual" umum, karena para alumnus sebelumnya juga mengalami hal serupa. Perlakuan ini memang agak menjengkelkan buat si pemain.
Saking menjengkelkannya, Federico Bernadeschi bahkan pernah membalasnya, dengan menampilkan gestur mengejek ke suporter Fiorentina, setelah sukses mencetak gol di kandang mereka.
Mungkin, cerita-cerita alumni Fiorentina yang jadi bintang di Juventus  akan membuat fans klub milik keluarga Della Valle ini merasa digembosi.
Tapi, ada juga alumni Juventus yang cukup sukses di Fiorentina. Mulai dari Claudio Gentile, Angelo Di Livio, Moreno Toricelli, sampai Adrian Mutu, semuanya menjalani kiprah cukup sukses, meski ada juga yang agak melempem seperti Enzo Maresca dan Fabrizio Miccoli.
Di area teknik, Fiorentina juga pernah dilatih Dino Zoff (eks pemain dan pelatih Juventus), Giovanni Trapattoni (eks pelatih Juventus) dan Paulo Sousa (eks pemain Juventus). Mereka sama-sama punya cerita manis di Juve, tapi tak sampai ada aksi protes keras dari Juventini saat mereka pindah ke klub Tuscany.
Jadi, rivalitas mereka sebetulnya terasa agak aneh, karena meski kurang akur di lapangan dan kalangan suporter, nyatanya jajaran petinggi mereka cukup mesra di bursa transfer, karena ada sejumlah pemain yang pindah dari Juventus ke Fiorentina atau sebaliknya, begitu juga di pos pelatih.
Entah kebetulan atau bukan, Â rivalitas Juventus dan Fiorentina ini seperti mempertegas sebuah paradoks: lain di bawah, lain di atas. Pemain dan suporter memang boleh terlibat rivalitas sengit, tapi bukan berarti para petinggi klub tak boleh berhubungan baik.
Kalau kata film Dono, "semua bisa diatur". Apalagi, kalau uang ikut bermain di sana. Ternyata, itu benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H