Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Gara-gara 22 Gol

25 Januari 2022   14:13 Diperbarui: 25 Januari 2022   14:16 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah turnamen, jika ada banyak gol tercipta hanya dalam 2 pertandingan, tentunya orang akan melihat dua kemungkinan.

Pertama, tim tersebut memang tampil bagus, nyaris tanpa cela. Kedua, level kemampuan tim lawan memang berada di bawah.

Jika kemungkinan pertama yang hadir, tak ada yang salah di situ. Maka, wajar jika pujian datang dari berbagai sudut.

Bermain bagus sudah, punya tim bermaterikan pemain terbaik iya, mencetak gol tak ada masalah, apalagi jika tak kebobolan. Kurang apa lagi?

Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, kritik bisa saja datang. Tapi, perlu ada yang dilihat lagi secara mendalam.

Jika ada tim yang kebobolan banyak gol tanpa kena kartu merah, hanya dalam 2 pertandingan, sudah pasti ada yang salah.

Kemungkinan kedua inilah, yang sedang dialami Timnas Indonesia Putri, dalam aksi mereka di ajang Piala Asia Wanita 2022.

Dari dua laga yang sudah dijalani, Tim Garuda Pertiwi takluk 0-18 dari Australia dan 0-4 dari Thailand. Sebuah catatan spektakuler, yang sayangnya bersifat negatif.

Tak ada yang mengharapkannya, tapi inilah yang terjadi. Kebobolan 22 gol tanpa mencetak satu gol pun, dan tersingkir di fase grup. Horor, tapi masih bisa dimengerti.

Dari segi kondisi aktual, Zahra Musdalifah dkk memang bertanding tidak dalam kondisi ideal. Mulai dari materi pemain sampai persiapan, semua serba seadanya.

Kekalahan telak dari Australia dan Thailand jadi semakin terasa wajar, karena dua negara itu punya kompetensi sepak bola wanita di dalam negeri. Australia bahkan diperkuat pemain-pemain wanita dari liga top Eropa.

Mereka jelas punya kesiapan lebih baik, karena punya kompetisi dan program latihan yang jelas. Tidak seperti di Indonesia, yang liga sepak bola putrinya malah kembali vakum akibat imbas pandemi.

Dari sini saja sudah bisa dilihat, betapa timpangnya perbedaan yang ada. Yang satu rutin berlatih dan bertanding secara serius, sementara yang lain lebih banyak berlatih lewat "fun game", karena tak ada program latihan atau pertandingan rutin.

Alhasil, wajar jika kondisi kebugaran tim asuhan Rudy Eka Priyambada ini jauh dari ideal. Dengan kondisi lawan yang lebih siap, pertandingan melawan Australia dan Thailand seperti mengadu balap motor yang jarang dirawat, karena hanya diparkir di garasi, melawan motor yang rutin dipakai bekerja, tapi terawat dengan baik.

Kiprah muram di India sebetulnya bukan salah para pemain, karena mereka sudah berusaha sebisanya. Jangankan menang, bisa bermain sampai akhir saja sudah bagus sekali.

Untuk masalah ini, publik sepak bola nasional memang kompak menuntut PSSI, agar menghidupkan kembali liga sepak bola putri nasional. Saya pun sepakat dengan itu, karena itulah yang memang dibutuhkan.

Tapi, ada satu lagi PR besar, yang bukan hanya menjadi tugas PSSI, tapi juga publik sepak bola nasional, yakni menghapus stigma "bias gender" soal sepak bola.

Seperti diketahui, di Indonesia, sepak bola cukup sering diasosiasikan dengan laki-laki. Padahal, padahal, banyak juga wanita yang suka sepak bola, meski awalnya suka karena melihat paras tampan para bintang lapangan.

Sebagai contoh, saya punya dua orang teman wanita yang suka sepak bola. Yang satu menjadi penggemar Chelsea karena sosok Frank Lampard, sementara satunya lagi menjadi penggemar setia Timnas Inggris, karena menonton aksi David Beckham di lapangan hijau.

Untuk alasan awal, keduanya cukup bisa dimengerti, karena naluri memang tak bisa bohong. Tapi, seiring berjalannya waktu, saya justru menemukan, mereka punya pemahaman yang baik, begitu juga dalam hal menikmati pertandingan, seperti halnya para pria.

Candaan mereka juga tak kalah menggelitik, jadi mereka bisa menjadi teman nonton bola yang cukup menyenangkan.

Di sini, bias gender mudah diatasi, karena titik fokusnya sama. Tapi, untuk Timnas Indonesia Putri, ini adalah satu PR besar, karena pilihan berkarier sebagai seorang pemain sepak bola putri masih menjadi sesuatu yang asing, khususnya dalam budaya masyarakat kita yang cenderung patriarkis.

Maka, selain menggulirkan lagi kompetisi, PSSI dan pihak terkait juga perlu ikut mengedukasi masyarakat, supaya kehadiran kompetisi sepak bola putri nasional nantinya tak menimbulkan polemik.

Selain itu, jika kompetisi sudah bergulir lagi, semua pihak terkait harus punya komitmen untuk terus maju. Supaya, kompetisi yang ada berkualitas dan sehat. Dengan demikian, tragedi kebobolan 22 gol seperti di ajang Piala Asia Wanita 2022 bisa dihindari.

Bisa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun