"Di mana toleransinya?"
Itulah pertanyaan yang biasa kudengar, saat ada berita persekusi yang mengudara. Apapun bidangnya, siapapun junjungannya, persekusi hampir tak pernah absen hadir.
Aku ingat, saat ada pesta rakyat dulu, pertentangan dan persekusi ada dimana-mana. Saat keadaan memaksaku untuk tak bisa memilih, awalnya aku memang sempat menyesal karena tak bisa ikut memilih.
Ternyata, sang waktu membuktikan, tidak berdiri di salah satu pihak adalah pilihan tepat. Kedua pihak yang bersaing kini telah jadi satu tim. Mereka yang dulu jadi sumber perdebatan kini telah menghapus alasan utama untuk berdebat. Jenius.
Tapi, jujur saja, rasa tak nyaman itu masih ada, karena ekstremisme yang menjiwainya sudah terlanjur masuk ke alam pikiran. Atas nama kebebasan dan hak, toleransi kadang dipaksa menjadi telor asin.
Di dalam, suara bising mengudara hampir setiap waktu memenuhi seisi ruangan, lengkap dengan pemujaan berlebih dan pandangan yang dipaksakan. Dia mencuri ketenangan dan kenyamanan, juga tak membiarkan pandangan berbeda tumbuh sehat.
Ekstremisme ini juga membuat dikte tumbuh dengan leluasa. Pengaturan ada, tapi berlebihan, beda selera dianggap masalah, ego semakin di depan.
Ada pemujaan dan obsesi luar biasa pada kesehatan fisik, tapi kesehatan jiwa dilupakan. Mendengar jadi dominan, sementara hak untuk didengar sampai tuntas terpinggirkan, atas nama tata krama. Toksik sekali.
Apa boleh buat, aku memilih diam, dan berkata lewat tindakan. Andai hati mereka bisa merasakan, seharusnya mereka bisa menyadari, kecuali jika suara bising yang mereka buat sendiri justru membuat mereka lupa.
Katanya, perilaku ekstrem adalah ciri khas satu kelompok, tapi ternyata tidak. Dia adalah milik setiap kelompok, dengan perspektif masing-masing.