Tak banyak yang mau mengingatkan untuk tetap fokus. Kalaupun ada, peringatan itu hanya dianggap angin lalu. Euforia gila-gilaan ini telah menciptakan rasa puas diri yang melenakan.
Saat hasilnya ternyata buruk, mereka yang masih mau memberi masukan atau mengakui kekalahan justru akan dipertanyakan nasionalisme nya. Padahal, mengakui keunggulan lawan bukan sebuah kekalahan. Sebuah sikap yang membagongkan sekali.
Padahal, jika tidak salah kaprah, nasionalisme selalu bersifat positif, karena ada objektivitas di sana. Jadi, kekalahan maupun kemenangan akan diterima dengan sama baiknya.
Saat tampil bagus, tak malu untuk memuji, dengan tetap memberi masukan positif. Saat performa dan hasilnya tak sesuai harapan, masukan positif tetap diberikan, alih-alih hanya menghibur diri.
Saya tak tahu, akan segembira apa situasinya, andai Witan Sulaeman dkk ternyata mampu membalikkan skor di leg kedua. Yang pasti, semoga apapun hasilnya, semua bisa menerima dengan sportif.
Entah dari mana datangnya "nasionalisme salah kaprah" ini, tapi Piala AFF 2020 telah menunjukkan, seberapa gawat dampak "nasionalisme salah kaprah", karena ia cenderung bersifat toksik, dan terbukti berdampak negatif.
Jika cara pandang kurang baik ini masih mau diteruskan, sepak bola nasional akan sulit untuk maju, karena tak kunjung dewasa secara mental.
Mau sampai kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H