Dalam hal mencari kerja (dan mendapatkannya) banyak orang yang mungkin harus berjuang ekstra keras, tapi harapan bagi mereka masih lebih terbuka. Khususnya, bagi mereka yang "normal" secara fisik.
Setidaknya, mereka tidak akan dicoret langsung pada "pandangan pertama" atau digantung terlalu lama. Kalaupun iya, indikasinya bisa langsung dilihat. Tanpa ada kata-kata ala motivator, mereka bisa langsung tahu, apa yang didapat dan bisa langsung "move on".
Situasinya berbeda buat penyandang disabilitas, karena sistem yang ada di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa dipercaya. Contoh paling klasik, sekaligus "filter" alaminya adalah syarat "sehat jasmani rohani".
Kalau sudah ada syarat ini, pilihan yang ada cuma mundur, karena ini adalah tanda "verboden" bagi penyandang disabilitas. Daripada mental jadi penyok atau ringsek karenanya, sebaiknya balik kanan.
Pada titik ini, kadang saya merasa jengkel, karena setelah melewati rentetan gangguan "bullying" di masa sekolah, terutama di masa remaja, lengkap dengan bonus diskriminasi fisik dan sedikit trauma, perlakuan kurang mengenakkan kembali datang saat mencari kerja.
Senajis itukah?
Undang-undang tentang disabilitas memang ada, tapi realitanya tak seindah aturannya. Ini masih negeri di mana aturan ada untuk dilanggar.
Oke, saya memang sempat mendapat pekerjaan di ibu kota. Masalahnya, ketika pandemi datang, saya terpaksa harus kembali menjadi pekerja serabutan, kalau tidak boleh dibilang freelance.
Inilah satu-satunya pilihan tersisa, karena kesempatan yang ada sangat terbatas. Sebelum pandemi saja sudah terbatas, apalagi saat pandemi datang.
Jika mendapat tempat kerja yang budayanya sehat, rasa lelah karena bekerja akan terasa sangat menyenangkan. Kalau tidak, ini adalah satu mimpi buruk yang jadi kenyataan. Lelah luar-dalam dan tertabrak drama-drama yang seharusnya hanya perlu ditonton.