Sejak pulang dari ibukota, ada dua hal, yang sebenarnya sangat menggangu. Mereka adalah dikte dan sikap demonstratif. Sebenarnya ini bukan hal baru, tapi ketika mereka ada setiap hari, rasanya sungguh mengerikan.
Aku ingat, dulu dikte pernah berkata, "Berikanlah perpuluhan dari setiap pemasukanmu, dan jangan pelit."
Aku memilih tak menurut, karena Alkitab hanya berkata, "Tunaikanlah bila mampu."
Aku hanya seorang pekerja serabutan. Aku paham, dikte ingin mengajakku berbagi, tapi, bukan begitu caranya. Memberi dengan pamrih apalagi pamer hanya akan membawa masalah di kemudian hari.
Nyatanya, dia tak pernah mau tahu, dan selalu getol menyuruhku. Waktu pagebluk datang, ternyata dikte menjadi yang paling pertama lari terbirit-birit dan tiarap entah di mana.
Dalam kondisi biasa saja, aku sudah berkali-kali melihat, ada begitu banyak orang yang sampai berutang banyak, hanya demi menuruti ini. Saat mereka susah karena dijerat utang, si dikte ini justru menyalahkan.
Buat apa dituruti kalau ternyata cuma jadi begitu?
Pada akhirnya, dikte hanya terdiam membisu, karena realita dan pagebluk menceramahinya habis-habisan. Ia tak pernah lagi berbicara kepadaku untuk sementara.
Cukup sampai di situ?
Ternyata, dikte tak hilang akal. Ia lalu menggesernya ke topik lain. Tanpa malu-malu, ia memintaku untuk tidak pelit. Aku memilih untuk diam di awal, karena ada begitu banyak hal di luar kendali di sini.
Awalnya, sikap diam ini membuatku diserang habis-habisan. Aku ingat, bagaimana cap "pelit" itu tersemat seenaknya. Sebuah sikap toksik yang memuakkan. Syukurlah, semesta masih mau berbaik hati menuntun, dan membantu sesuai porsi, seperti biasanya.
Dengan lugasnya, semesta menuntun dan menunjukkan jalan. Ada saja kelebihan berkat yang bisa dibagikan. Entah itu dari hadiah, atau yang lainnya. Sederhana, tapi selalu datang di saat yang tepat.
Dikte memang masih saja hobi mencela dalam bungkus kritik. Nyatanya, keadaan membuatnya sekali lagi terdiam. Siapa sangka, keadaan berbalik, membantah semua cap berikut asumsi piciknya.
Ini memang bukan pertama kalinya semesta berkenan menuntun, tapi rasa syukur dan takjubnya selalu sama. Semesta selalu punya cara jenius untuk menelanjangi kepicikan, sekalipun kepicikan itu terlihat tanpa cela.
Selalu menyenangkan melihat sikap picik terdiam, karena sikap diam si picik adalah satu pujian darinya. Aku tak pernah takut menghadapinya, selama semesta berkenan menuntun.
Satu lagi lawan paling menjengkelkan bagiku adalah sikap demonstratif. Dia kadang bekerjasama dengan dikte, untuk membuat suasana menjadi toksik.
Sikap demonstratif ini biasanya rutin bangun pagi, sambil setiap hari menyetel keras-keras dan membagikan siaran ibadah di rumah. Sekali lagi, aku memilih diam, karena ini terlihat seperti satu sikap sombong.
Ada begitu banyak orang yang bangun bahkan sebelum subuh datang, mengerjakan pekerjaan dalam senyap. Ada yang melanjutkan aktivitasnya setelah selesai, dan ada yang memilih tidur lagi karena lelah, sebelum akhirnya melanjutkan beraktivitas setelah istirahat.
Wajar kan?
Soal menyetel keras-keras dan membagikan siaran ibadah di rumah dan membagikannya, ini jelas salah kaprah, bonusnya, polusi suara.
Tak ada yang perlu dipamerkan, karena ini adalah urusan spiritual. Kalau tujuannya memang pamer, sebaiknya jangan dilakukan.
Sesuai namanya, urusan spiritual seharusnya bukan untuk dilihat dari luar, karena memang bukan itu tujuannya. Aku memilih untuk tidak menontonnya, karena meski masih satu akar, itu berasal dari keyakinan berbeda.
Jelas kan?
Entah sudah berapa banyak racun yang datang dari dikte dan sikap demonstratif. Aku hanya menyadari, mereka bukan lawan yang menyenangkan. Mereka bahkan kadang berbicara di luar kapasitasnya.
Lebih baik diam, karena diam itu emas. Sisanya, biarkan semesta menuntun karena ia tidak pernah salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H