Setahun lebih mati langkah karena pandemi memang menyebalkan, tapi bukan berarti melakukan "balas dendam" terlalu awal secara sembrono diperbolehkan.
Dalam kondisi serba belum pasti seperti ini, tindakan "balas dendam" sebelum waktunya hanya akan menuai pembalasan lebih kejam. Apalagi, kalau lawan kita masih kuat. Superman Is Dead yang antipeluru dan antigores saja bisa keok kalau sembrono.
Kata The Beatles, "life goes on", sekalipun pandemi masih jingkrak-jingkrak. Makanya, pemerintah mulai berani melonggarkan berbagai aturan soal pandemi, yang sejak awal munculnya sudah hobi berganti baju, seperti model berlenggok di panggung jalan kucing.
Masalahnya, aturan yang ada sering tak sinkron dengan situasi dan kondisi di lapangan. Persis seperti kebiasaan "sein kanan belok kiri" sang penguasa jalanan tanpa lawan. Saking jagonya mereka, burunglah yang justru sering kena semprit, sehingga diberi nama burung kutilang. Hebat kan?
Semua aturan yang ada memang hadir sebagai pedoman, demi kebaikan bersama, tapi, karena mereka selalu punya celah yang bisa dimanfaatkan, semua aturan itu kadang terlihat seperti password WiFi gratis di warung burjo.
Jika ada yang bertanya apa password-nya, jawabannya simpel, "dengan memperhatikan protokol kesehatan ketat". Beres.
Mungkin, semua keruwetan itulah, yang membuat si papan pemberitahuan akhirnya hanya tinggal menyisakan sebagian kecil wajahnya. Ia seolah berkata,
"Reality speaks itself".
Dalam senja nan mendung di sudut Malioboro, papan dan gelas-gelas itu terdiam dalam formasi ala pagar betis tendangan bebas. Mereka menatap hiruk-pikuk orang-orang yang lalu lalang, sebelum akhirnya terpaksa berpisah, karena para gelas itu pindah ke tempat sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H