Dalam banyak hal, sebuah kemenangan selalu terasa menyenangkan, apalagi jika diraih di kejuaraan tingkat dunia. Masalahnya, bagaimana jika dalam kemenangan itu terselip sedikit rasa malu?
Pertanyaan ini menjadi sesuatu yang relevan, khususnya bagi pecinta bulutangkis nasional. Kebetulan, Timnas Indonesia baru saja keluar sebagai juara Piala Thomas 2020 di Denmark Minggu (17/10).
Selain karena menjadi yang pertama dalam 19 tahun, trofi ini terasa makin spesial, karena Hendra Setiawan dkk mengalahkan China dengan skor 3-0 di final, dalam tiga pertandingan, dua diantaranya tiga set. Sesuatu yang belakangan jarang terjadi, mengingat kuatnya dominasi tim Negeri Panda di cabang olahraga bulutangkis.
Masalahnya, dalam kemenangan bersejarah ini terselip satu rasa malu, karena Indonesia sedang disanksi oleh Badan Anti Doping Dunia (WADA).
Penyebabnya, bukan karena ada atlet yang mengkonsumsi zat doping, tapi ketidakpatuhan Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) terhadap penerapan program uji doping. Celakanya, masalah ini hanya ditindaklanjuti Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dengan mengirim surat ke WADA.
Alhasil, meski masih diperbolehkan BWF bertanding di Piala Thomas 2020, Jonathan Christie dkk dan masyarakat Indonesia harus rela mendapati dua kenyataan pahit. Rasa pahitnya makin pekat, karena seluruh dunia ikut menyaksikan.
Pertama, bukan sang merah-putih yang berkibar di Aarhus, tapi bendera PBSI. Kedua, lagu kebangsaan Indonesia Raya tak berkumandang seusai pengalungan medali juara. Kedua momen ini disiarkan secara langsung ke berbagai penjuru dunia.
Malu?
Ya, seharusnya begitu. Perjuangan para atlet di lapangan, yang sudah membanggakan nama negara, justru dianggap remeh instansi negara.
Andai Menpora dan petinggi LADI masih punya integritas, seharusnya mereka mengundurkan diri, karena sudah melakukan kelalaian yang fatal. Ini memang bukan korupsi, tapi sudah mempermalukan nama Indonesia di mata dunia.