De Ja vu. Begitulah pemandangan yang saya lihat, dari performa Manchester United belakangan ini. Saya sebut demikian karena mereka saat ini sedang mengalami siklus seperti musim lalu.
Siklusnya kurang lebih begini, tampil bagus di partai awal, menghadirkan rasa percaya diri sangat tinggi, tapi langsung berantakan setelahnya.
Di musim lalu, ini sempat terlihat, saat Si Setan Merah tampil bagus di awal. Dengan meyakinkan, mereka mampu bersaing di papan atas klasemen Liga Inggris, dan mengalahkan PSG plus RB Leipzig di Liga Champions.
Semua terlihat baik-baik saja, sampai tiba-tiba muncul cuitan "Gini doang grup neraka" yang dicuitkan admin akun media sosial (versi Indonesia) mereka. Mungkin, ini terlihat seperti sebentuk rasa percaya diri sangat tinggi, yang sekilas sangat positif, walau sebenarnya terlihat sangat sombong.
Waktu lalu menunjukkan, cuitan itu adalah awal sebuah mimpi buruk. Setelahnya, David De Gea dkk dipaksa turun kelas ke Liga Europa, dan kurang konsisten di Liga Inggris. Apa boleh buat, cuitan "Gini doang grup neraka" berakhir menjadi sebuah lelucon.
Di sini, mereka masih sedikit beruntung, karena tim lain sedang bermasalah. Liverpool dan Chelsea sama-sama sempat mengalami turbulensi, akibat masalah cedera pemain dan pergantian pelatih. Sementara itu, Leicester City tergelincir di pekan-pekan akhir.
Andai masalah-masalah itu tak ada, mungkin tim penghuni Stadion Old Trafford akan lebih kesulitan, dan belum tentu lolos ke Liga Champions musim ini.
Tapi, siklus itu ternyata kembali hadir  musim ini. Optimisme tinggi sempat muncul, seiring datangnya pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo, Raphael Varane, dan Jadon Sancho, ditambah start cukup oke di pertandingan awal Liga Inggris.
Tak disangka, optimisme itu sekali lagi menghadirkan sedikit rasa jumawa. Tak lama setelah mengalahkan Newcastle United 4-1 di bulan September silam, admin Twitter Manchester United (versi Indonesia) kembali beraksi, dengan mencuit seperti pada foto di atas.
Bak terkena "de ja vu", setelah cuitan ini viral, performa Manchester United langsung anjlok. Dari tujuh pertandingan, tim asuhan Ole Gunnar Solskjaer mencatat 2 kemenangan, 1 hasil imbang, dan 4 kekalahan.
Teranyar, mereka tumbang 2-4 dari tuan rumah Leicester City, Sabtu (16/10) meski sempat unggul lebih dulu. Sebuah penurunan drastis, untuk ukuran tim yang sebelumnya terlihat begitu percaya diri.
Memang, tekanan pada Ole kembali meningkat, karena pelatih asal Norwegia itu tampak miskin taktik. Tapi, seperti yang sudah-sudah, tekanan padanya pasti akan hilang seperti asap, saat mereka meraih hasil bagus.
Siklus itu hanya sebuah repetisi, yang belum tentu berubah, karena sejak sang mantan "supersub" itu bertugas, situasinya juga tak banyak berbeda, apalagi berubah.
Sebenarnya, masalah yang ada di United sekarang ini bukan hanya soal pelatih, tapi ada aspek lain yang jadi masalah. Pertama, transfer pemain yang kurang efektif, dan kedua, optimisme berlebihan yang jadi bumerang.
Untuk masalah pertama, itu sedikit terlihat di musim ini. Benar, rival sekota Manchester City memang sukses memboyong pemain bintang dalam diri Cristiano Ronaldo, Raphael Varane, dan Jadon Sancho.
Masalahnya, ketiganya masih terlihat belum sesuai harapan. Varane bermasalah dengan kebugaran, Sancho belum sepenuhnya klik, sementara gaya main Ronaldo sudah mulai bisa diredam lawan.
Untuk Varane dan CR7, semua orang jelas mafhum, mereka adalah pemain berpengalaman yang sudah kenyang trofi juara. Tapi, keduanya bukan versi seperti saat di Real Madrid.
Varane datang dalam kondisi belum fit, dan sekarang dibekap cedera seusai membela Timnas Prancis. Dari segi pengalaman dan nama besar, tak ada yang meragukan, tapi jika situasinya begini terus, ia bisa jadi transfer gagal.
Soal Ronaldo, sudah banyak pujian untuknya, termasuk dari segi kebugaran fisik dan pola dietnya. Tapi, Cristiano yang sekarang adalah pemain yang sangat bergantung pada suplai umpan matang.
Tanpanya, ia hanya terlihat seperti seorang yang berlari-lari "mengukur luas lapangan" karena tak mendapat bola. Superstar Portugal ini "antara ada dan tiada" jika suplai bola diputus.
The Red Devils memang akan untung besar dari segi komersial karena kehadiran rival Lionel Messi, tapi seorang penyerang sepertinya jelas punya tugas untuk rutin mencetak gol, bukan jadi wajah sampul.
Soal Sancho, eks pemain Borussia Dortmund ini terlihat masih terbebani dengan harga mahalnya. Ditambah lagi, ia masih butuh waktu untuk "move on" dari kegagalan mengeksekusi penalti di final Euro.
Jelas, masih banyak kekurangan yang harus dibenahi dan diakui. Menutupinya hanya akan membuat semua jadi lebih buruk.
Melihat situasinya, jika kebiasaan "jumawa" yang toksik ini masih saja diulang, dan grafik performa United tak juga membaik setelah ini, memecat Ole Gunnar Solskjaer mungkin bisa jadi cara instan meredam efek kekacauan, tapi, siapapun pelatihnya, hasilnya akan sama saja, karena sudah terlanjur mendarah daging, kecuali ada perubahan total di semua sisi.
Masih mau jumawa, United?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H